nusabali

'Upacara Ini Bersifat Khusus, Tak Bisa Ditentukan Waktunya'

  • www.nusabali.com-upacara-ini-bersifat-khusus-tak-bisa-ditentukan-waktunya
  • www.nusabali.com-upacara-ini-bersifat-khusus-tak-bisa-ditentukan-waktunya

Dharma Upapati PHDI Gianyar Apresiasi Pelaksanaan Homa Yadnya

GIANYAR, NusaBali
Dharma Upapati Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kabupaten Gianyar Ida Pedanda Gede Made Putra Kekeran apresiasi pelaksanaan Homa Yadnya, upacara Pamarisudha Jagat Kali Sanghara yang digelar di Taman Prakerti Bhuana, di Yayasan Taman Prakerti Bhuana, Kelurahan Beng, Kecamatan/Kabupaten Gianyar pada Saniscara Umanis Sungsang, Sabtu (22/12). Pelaksanaan Homa Yadnya bertepatan dengan rahina Purnama Kapitu diharapkan berdampak baik terhadap Bhuana Agung Bhuana Alit.

Menurut Ida Pedanda, Homa Yadnya adalah upacara yang bersifat khusus berdasarkan lontar Catur Yuga, Pustaka Niti Sastra, Pustaka Roga Sanghara Bumi, dan Lontar Homa Traya Wisesa. Kekhususan dari yadnya ini, yakni digelar ketika ada ciri-ciri yang tidak bagus di alam semesta yang disebut dengan kedurmanggalan jagat. Seperti misalnya ada banjir, gempa, perilaku manusia yang aneh-aneh, kekerasan, kebencian merajalela hingga menyebabkan alam ini bercampur aduk.

“Ketika orang sulit menentukan mana benar salah, Bhuana Agung mulai hancur, Bhuana Alit ikut sakit. Maka oleh lontar dianjurkan untuk melaksanakan Homa Yadnya. Memohon pada Tuhan diberikan petunjuk, penyucian supaya jegjeg netral lagi alam ini, baik alam semesta Bhuana Agung maupun Bhuana Alit manusia itu sendiri,” ujar Ida Pedanda.

Ditegaskan, pelaksanaan Homa Yadnya didasari oleh petunjuk-petunjuk alam. Sehingga tidak dapat ditentukan waktunya, apakah setahun, lima tahun atau bahkan seratus tahun sekali. “Lebih mengacu pada ceciren jagat. Tapi alangkah bagusnya, pas pada momen yang tepat seperti Purnama ini,” imbuhnya.

Mengenai pemilihan tempat, bagi Ida Pedanda sudahlah tepat. Sebab, Taman Prakerti Bhuana merupakan tempat umum yang bisa diakses oleh masyarakat khususnya umat Hindu. “Zaman dahulu, Homa Yadnya dilakukan oleh Raja atas perintah sastra. Jika sudah ceciren jagat, Raja wajib laksanakan Homa Yadnya ini,” jelasnya.

Sepengetahuan Ida Pedanda, Homa Yadnya yang pernah digelar pada tahun 1343 Masehi dibawa oleh Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh (Dang Hyang Nirartha) saat peralihan kerajaan Majapahit dulu. Ketika itu terjadi goncangan di Bali, perintah Raja tidak diperhatikan, masyarakat bertengkar terus. Melihat kondisi itu Dang Hyang Nirartha menganjurkan pada Raja Waturenggong menggelar Homa Yadnya agar jagat ini kembali ajeg.

Dan kali ini, pelaksanaan Homa Yadnya yang diawali dari diterimanya pawisik/petunjuk niskala oleh pengelola Yayasan Prakerti Bhuana Ida Bagus Putu Adi Supartha, setelah dikoordinasikan ternyata sesuai dengan sastra yang ada. Sehingga, Ida Pedanda Gede Rai Gunung Ketewel memberikan izin kemudian mendesain pelaksanaan yadnya. “Begitu petunjuk niskala itu dipadukan dengan sastra, maka dengan pertimbangan sastra, yadnya ini digelar,” ujarnya.

Dikatakan, Dharma Upapati Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kabupaten Gianyar Ida Pedanda Gede Made Putra Kekeran juga telah melakukan observasi lokasi pelaksanaan Homa Yadnya. “Apakah memenuhi kriteria atau tidak, Peranda tanyakan mekanisme, tujuan, banten, siapa muput bahkan sampai mantra Peranda cek, akhirnya tepat dan benar sesuai sastra,” tutur Ida Pedanda.

Mengenai proses upacara Homa Yadnya, merupakan makna pembakaran sifat-sifat negatif. “Menggunakan api besar di jambangan tembaga dengan diameter 99,9 cm. Puja itu baik untuk alam semesta, mengambil api dari matahari (surya kanta). Dalam tubuh membakar elemen yang tidak sempurna yakni manah budhi dan ahamkara,” imbuhnya.

Dalam momentum ini, Ida Pedanda juga berpesan agar setiap pelaksanaan yadnya berdasarkan petunjuk kitab suci. Seperti yang tertuang dalam Kitab Bhagavad-gita XVII 1.1 yang menyebut ‘Aphalam kanskhibhir yajno, Vidhi-drsto ya ijyate, Yastavyam eveti manah, Smandhaya sa satvika’ yang artinya, upacara menurut petunjuk-petunjuk kitab suci, dilakukan orang tanpa mengharapkan phala, dan percaya sepenuhnya upacara ini sebagai tugas kewajiban adalah satvika. “Jadi yadnya bukan hanya kewajiban atau keinginan, melainkan adalah keperluan manusia. Dalam aspek apapun, manusia itu utama ketika ia dalam posisi meyadnya dan lebih banyak memberi. Di Bali kita hidup dari yadnya,” terangnya.

Dikatakan, yadnya itu tidak selamanya menyangkut banten, tidak hanya mantra. Ada konsep bathin dalam prosesnya. Di mana ada beberapa rambu-rambu yang mesti ditaati ketika akan menyiapkan sarana upacara, sesuai kutipan Lontar Indik Panca Wali Krama yang berbunyi ‘Hendaknya waspada dan berhati-hati jangan sembarangan atau asal berbuat, sekadar terlaksana saja. Bila tidak sesuai dengan ajaran sastra, maka sia-sialah jadinya, berbalik keadaan akan diperolehnya. Demikian sepatutnya diwaspadai oleh tukang banten, sang muput karya, serta yang memiliki yajna. Ketiganya itu patut menyatukan pandangan dan langkah dalam melaksanakan yajna. Janganlah saling bertentangan, sebab dalam pelaksanaan yajna tidak boleh dipengaruhi dan dinodai oleh pikiran kotor dan kasar. Pikiran yang suci, hening serta berpusat berlandas rasa baktilah yang akan mengantarkan kepada keberhasilan yajna yang dilaksanakan. Itulah yang hendak diingat, semoga berhasil’.

Seperti diberitakan sebelumnya, berdasarkan Lontar Catur Yuga, Pustaka Niti Sastra, Pustaka Roga Sanghara Bumi, dan Lontar Homa Traya Wisesa, prosesi Homa Yadnya terakhir kali digelar di Pura Besakih, Desa Pakraman Besakih, Kecamatan Rendang, Karangasem pada 1343 atau 675 tahun silam, saat masa pemerintahan Raja Dalem Waturenggong. Sejak itu, tak pernah lagi dilaksanakan Homa Yadnya, sampai akhirnya diputuskan digelar kembali di Yayasan Taman Prakerti Bhuana, Sabtu kemarin. *nvi

Komentar