nusabali

Setelah 47 Tahun, Tradisi Ngaga di Desa Pedawa Kembali Digelar

  • www.nusabali.com-setelah-47-tahun-tradisi-ngaga-di-desa-pedawa-kembali-digelar

Krama pangempon Pura Pucak Sari, Banjar Dinas Insakan, Desa Pedawa, Kecamatan Banjar, Buleleng, kembali menggelar ‘tradisi ngaga’, menanam padi jenis gaga di lahan tegalan (lahan kering, tanpa air), pada Buda Pon Sungsang, Rabu (19/12) pagi kemarin.

SINGARAJA, NusaBali

Penanaman padi gaga itu untuk memenuhi sarana ritual pujawali di Pura Pucak Sari. Tradisi turun-temurun itu pun sempat hilang selama 47 tahun, karena terakhir dilakukan pada tahun 1971 silam.Pelaksanaan tradisi ini pun dinilai sakral. Krama pangempon Pura Pucak Sari melangsungkan upacara mapiuning sebelum padi gaga ditanam di lahan tegalan. Seluruh krama pun nampak menggunakan pakaian adat saat menanam padi yang dikembangkan tanpa menggunakan banyak air seperti penanaman padi pada umumnya.

Seluruh persiapan prosesi sudah dilakukan sejak pukul 07.00 WITA. Seluruh krama pangempon sudah berkumpul dan mengemban tugasnya masing-masing. Ada yang bertugas membuat lubang dengan bambu runcing, ada juga yang bertugas menanam benih padi gaga di dalam lubang. Uniknya sebelum ditanam benih padi gaga itu dicampur dengan sejumlah benih kacang-kacangan, mulai jagung, kacang kedelai hitam (undis, Red) dan jagung kedu serta obat pemali (campuran dari kunyit, daun endong dan dapdap).  Obat pemali ini bertujuan untuk mengantisipasi tanaman diserang hama saat bertumbuh.

Dalam proses penanaman benih itu pun seluruh warga bersorak wuuuu…wwuuu..wwuuu. Sorakan yang sangat mencolok saat prosesi penanaman padi gaga diyakini krama setempat agar benih yang ditanam dapat bertumbuh dan berkembang maksimal.

Penglingsir Pengempon Pura Puncak Sari, Wayan Dasar, 60 mengatakan tradisi ngaga dilakukan oleh para leluhurnya turun-temurun. Tradisi menanam padi gaga ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pujawali di Pura Puncak Sari yang jatuh setiap Sasih Kaulu (bulan Januari-Februari). Penanaman padi gaga pun hanya dilakukan di lahan seluas 8 are.

Saat pujawali itu, salah satu sarana utama yang wajib dihaturkan adalah nasi yang berasal dari padi gaga. Nasi tersebut ditambahkan sejumlah lauk dan sayur-sayuran untuk dipersembahkan kepada Ida Bhatara Sri Rambut Sedana yang bersthana di Pura Puncak Sari. Selanjutnya, nasi persembahan itu akan dimakan bersama oleh para penyungsung pura, sebagai simbol nunas bayuh agar diberi kesejahteraan dan kemakmuran.

“Tradisi ini memang sudah dari dulu diwarisi leluhur kami, meski sempat vakum, karena terakhir diselenggarakan tahun 1971. Sekarang mulai dibangkitkan kembali, karena tradisi ini sangat penting bagi kami, selain juga sekarang mencari padi gaga sangat sulit,” kata dia.

Selama ini krama Pura Pucak Sari selama 47 tahun terakhir memenuhi kebutuhan upakara menggunakan padi gaga dengan mendatangkan langsung produk padi gaga dari daerah Flores, NTT.

Tradisi ini sempat ditinggalkan karena dinilai masyarakat sangat sulit memelihara padi tanpa air. Selain itu sistem penenaman padi tanpa air ini baru dapat dipanen enam bulan sekali. Berbeda jauh dengan padi hybrida yang dikembangkan petani secara umum.

Krama pun sempat memutuskan untuk membeli padi gaga untuk kebutuhan upakara. Mereka pun saat itu memilih menanam kopi, coklat dan cengkih untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Ia pun menjelaskan dalam pelaksanaan prosesi ini seluruh krama diwajibkan ngayah. Wayan Dasar berharap, tradisi ini terus berlanjut. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan padi gaga ini tidak mencari sampai keluar Pedawa. Rencananya, pengempon pura yang disebut Sekeha Juragan (petani,) akan rutin menggelar tradisi ngaga ini.

Sementara itu, usai ngayah menanam padi gaga, seluruh krama akan menutupnya dengan rangkaian nunas pabayuh. Rangkaian prosesi ini adalah acara makan bersama menyantap hidangan yang sudah disiapkan dengan lauk yang sanat sederhana. Hanya nasi, sayur pakis, ikan teri, ikan asin dan kacang. Nasi pabayuh itu pun disantap secara bersama (magibung) dan seluruh krama yang ngaturang ayah wajib ikut bersantap.

“Nunas pabayuh ini dimaksudkan nunas merta agar selalu diberikan tenaga dalam bekerja. Disinilah nilai-nilai kebersamaan dan persatuan krama kami dirajut,” imbuh Dasar. Selanjutnya setelah nunas pabayuh, krama melakukan persembhayangan bersama memohon kepada Dewi Sri sebagai lambang kesuburan untuk menjaga benih yang mereka tanam. Sehingga harapannya enam ke depan dapat dipanen untuk dipakai sarana upacara. *k23

Komentar