nusabali

MUTIARA WEDA : Baik dan Buruk

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-baik-dan-buruk

Orang berbuat baik, tidak tahu siapa menikmati perbuatan baiknya, ia pasti bertemu kebaikan, kebaikan perbuatannya ikut menyertai. Orang berbuat buruk, tak tahu yang menikmati perbuatan buruknya, pasti bertemu keburukan, keburukan perbuatannya ikut menyertai.

Wwang magawe hayu tan wruh I sira sang amukti gawenya hayu,

Tan dadi tan tumemu ng hayu, hayu ni gawenya tumut mangiring,
Wwang magawe  hala tan wruh  I sira sang amukti gawenya hala,
Tan dadi tan tumemu ng hala-hala ni gawenya tumut mangiring.
(Kakawin Sumanasantaka, 13.5)


ASPEK moral merupakan sesuatu yang mendasar dalam kehidupan sosial seseorang. Ukuran mulia atau tidaknya seseorang diindikasikan dari standar ini. Orang yang secara moral selalu tampil baik, maka dia dipandang mulia oleh lingkungan sosialnya, demikian sebaliknya. Itulah mengapa berperilaku sesuai dengan kaidah-kaidah moral sangat ditekankan dalam pergaulan. Meskipun seseorang masih dalam ekspresi marah di rumahnya, dan ketika itu tiba-tiba tetangganya datang, ia mesti harus menutupi kemarahannya untuk sementara, karena wajah yang dirundung marah sangat tidak bagus dilihat orang lain. Bahasa yang awalnya keras dan kasar, tiba-tiba harus ditekan sampai batas normal. Tidak mungkin bahasa yang keluar tetap sama terhadap tetangga, karena itu sungguh kelihatannya tidak baik.

Demikianlah cara kita dalam bermasyarakat. Kita senantiasa berupaya agar tetap tampil baik di hadapan siapa pun. Diri kita sangat terampil di dalam membuat gesture tubuh agar kelihatan baik dan sopan. Setiap saat kita dilatih untuk bertindak seperti ini, apakah pada saat di kantor, di jalan, pada saat rapat, pada saat perjamuan, kegiatan sosial, dan yang lainnya. Kita sangat paham atas kebaikan kita dan tahu betul dengan siapa kebaikan itu ditujukan. Seperti misalnya, oleh karena kita memiliki sebuah kepentingan, apapun itu, biasanya kepada atasan, kita di depannya senantiasa berbuat baik dan selalu menunjukkan diri sebagai orang yang patuh dan kompeten, bersikap ramah dengan bahasa yang lembut. Tetapi, dalam situasi yang berbeda dan dengan orang atau teman yang berbeda, ketika kita ketemu, kita mungkin menampilkan sikap yang berbeda yang tampak lebih datar dan bahkan sedikit arogan. Secara umum, biasanya kita tidak mampu menjaga penampilan kita tetap sama apakah dengan atasan atau yang lainnya. Dapat dikatak
an bahwa kita sangat ahli menentukan bagaimana kita harus berperilaku terhadap orang tertentu dan berperilaku yang berbeda terhadap orang lainnya.  

Namun, apa yang dinyatakan oleh teks di atas sungguh sangat berkebalikan. Justru yang benar adalah bagaimana agar kebaikan yang kita lakukan itu tidak perlu diketahui secara detail. Mestinya kebaikan yang dilakukan bisa dinikmati oleh siapapun. Dalam tataran tertinggi, kita mestinya tidak tahu siapa yang telah menikmatinya. Di sini, teks di atas mengajarkan agar kita tidak politis di dalam berbuat baik. Jika kira-kira tidak menguntungkan diri kita sendiri, maka kita merasa tidak perlu berbuat baik, dan kita hanya akan berbuat baik hanya ketika itu menguntungkan diri sendiri. Keuntungan dari perbuatan baik kita diharapkan menuju keluar, ke orang lain, bukan ke diri sendiri.

Bagaimana agar hal tersebut bisa seperti itu? Teks di atas mengajarkan kepada kita bahwa moral yang kita anut mestinya tidak bersifat plastis atau hanya sekadar topeng. Perbuatan baik yang kita lakukan semestinya bukan dimotivasi oleh keuntungan pribadi, melainkan murni karena dorongan yang muncul dari dalam. Bagaimana caranya? Kebaikan yang laten di dalam diri harus dilatih terlebih dahulu. Hanya ketika bunga kebaikan dari dalam itu mekar, maka perilaku baik kita akan menjadi alami. Apapun yang dilakukan akan baik dan akan sepenuhnya bisa dinikmati oleh orang banyak.

Itulah mengapa dikatakan jika kita sampai tidak menyadari siapa yang mendapatkan keuntungan dari perbuatan baik kita, maka kita sesungguhnya diikuti oleh kebaikan itu sendiri. Mengapa? Karena diri kita lah yang baik sesungguhnya. Tetapi jika kebaikan yang kita lakukan dapat kita hitung bagi orang lain, maka sesungguhnya kebaikan itu tidak akan mengikuti kita. Mengapa? Karena kita tidak baik sesungguhnya. Kebaikan yang kita lakukan pasti karena kepentingan pribadi kita dan bukan murni kebaikan diri. Teks di atas juga menyampaikan sebaliknya, jika tindakan buruk kita pada orang lain bisa diketahui secara detail, maka keburukan itu tidak akan mengikuti kita, sebab kita akan tahu caranya bagaimana memperbaikinya. Celakanya, kita tidak tahu siapa yang telah menderita akibat keburukan yang kita lakukan, sehingga setiap saat kita akan diikuti oeh keburukan itu sendiri.*

I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta

Komentar