nusabali

Bali Memang Murah

  • www.nusabali.com-bali-memang-murah

KELUHAN Bali dijual murah dalam industri turisme, bukan hal baru. Tatkala Dewa Made Beratha menjabat Gubernur Bali, dalam acara coffee morning di Denpasar, Jumat (3/6/2005) bersama penggiat pariwisata Bali, dia mengeluh karena pertumbuhan ekonomi Bali cuma 4,1 persen, jauh di bawah pertumbuhan ekonomi nasional yang 6,3 persen kala itu.

Wisatawan yang berkunjung ke Bali memang meningkat, tapi yang datang turis Asia berkantong tipis. Hotel banting harga, karena kalau dijual mahal, wisatawan tak sudi datang.  Sudah bukan rahasia lagi, kalau wisatawan China adalah pelancong yang ngirit, sehingga sering dituding pelit. Daya beli mereka jauh kalah dibanding wisatawan Eropa dan Amerika. Kalau makan, mereka bersantap di restoran milik pengusaha dari China, atau masak mi bungkus rebus di hotel, yang mereka beli di swalayan.


Kesan Bali dijual murah pun semakin terasa. Bagi mereka yang pernah mengalami masa jaya industri turisme sebelum bom diledakkan di Kuta, Oktober 2002, masa-masa murah tak cuma berarti masa paceklik, tapi juga sesuatu yang harus diwaspadai. “Kalau terus menerus dijual murah, Bali akan berantakan,” ujar Dewa Made Beratha.

Tetapi, benarkah sebelum ini Bali dijual mahal? Jika mahal, berarti ada banyak laba, lalu ke mana perginya keuntungan itu? Benarkah orang Bali yang menjual mahal diri (kesenian, kebudayaan, gaya hidup) mereka? Jika orang Bali menjual mahal Bali, dan dapat banyak untung, mengapa masih acap terdengar kabar orang Bali miskin, dan orang-orang jompo di desa sakit-sakitan tidak terurus? Atau jangan-jangan orang Bali menjual murah, orang lain yang menjual mahal, sehingga orang Bali tetap ‘miskin’ dan orang lain semakin kaya. Lalu, siapakah kaum pedagang, orang lain, itu?

Sejak lama ramai diperdebatkan ihwal pertunjukan seniman Bali dibayar murah di hotel-hotel. Mereka pentas diangkut truk, honor kecil. Mereka menari dan menabuh di hadapan pelancong yang bahagia makan malam setelah membayar tiket mahal. Jika wisatawan membayar mahal pertunjukan dan makan malam itu, siapakah yang mahal dan siapakah yang murah? Bukankah seniman itu, orang Bali itu, yang murah? Dan makan malam itu, tempat pertunjukan, hotel, panggung, kenyamanan, itu yang mahal?

Kalau begitu, komentar Bali itu murah sesungguhnya bukan obrolan baru. Yang marah Bali murah tentu mereka yang dulu sanggup menjual Bali mahal. Tapi pedagang mana pun paham, bisnis tak selalu berada di puncak, ada saat turun, ada masa melaju dan surut. Banyak pelancong domestik yang mampir di Pasar Seni Sukawati mengaku beruntung, karena patung, lukisan, cindera mata, pakaian, dijual dengan harga terjangkau untuk karyawan, buruh, pegawai negeri. Mereka berkomentar, jika Bali tidak dijual murah, mereka tak mungkin menjadi turis, dan mustahil memajang karya-karya seniman Bali di ruang tamu atau di dinding kantor mereka. Mereka yang menjual kaos oblong di Kuta, pedagang di pasar seni, justru mengaku meraup banyak untung setelah Bali dijual murah.

Sesungguhnya, tak ada hari tanpa kegiatan menjual Bali. Aktivitas menjual Bali itu justru paling intensif dan gesit dilakukan di Bali. Promosi yang dibiayai miliaran rupiah ke mancanegara adalah menjual Bali. Sambutan hangat dan bermanis-manis buat tamu, mendengungkan jargon senyum untuk wisatawan, adalah itikad kuat memperdagangkan Bali. Menit ke menit Bali dijual. Hari ke hari Bali sangat laris. Kaum pedagang itu lantas memuji Bali dengan mengatakan, “Bali sangat kharismatik. Tak hanya senimannya bertaksu, pulau tempat mereka hidup juga penuh wibawa.”

Wibawa bagi Bali selalu disepadankan dengan jutaan dolar yang ditimbun di pulau ini. Tanpa disadari Bali terus menerus diporoti, digerogoti. Semuanya berjalan secara sistematis, mengalir. Pengikisan itu, anehnya, justru membuat banyak orang Bali bangga. Mereka menilai, kalau Bali tidak hebat, mana mungkin ia dicintai. Ungkapan dan pujian itu sesungguhnya jurang terjal lebar, tempat Bali dan kebudayaannya terperosok. Alangkah sedih kalau kita sudi menghayati, betapa Bali hingga detik ini sesungguhnya adalah barang dagangan. Sehingga perbincangan yang paling hangat di sini adalah tentang laba-rugi, perihal laris atau sepi, murah atau mahal.

Kita semakin sedih kalau mengingat, sebagai komoditas Bali justru semakin murah, bukan kian mahal. Kian tajam terasa Bali sebagai barang dagangan. Para pedagang yang mengobral Bali senantiasa menyusun siasat untuk menyabet pelancong banyak-banyak ke Bali. Banyak atraksi digelar, tontonan dihadirkan. Semua untuk mengundang turis. Sewa kamar penginapan diturunkan, aktivitas wisata diobral. Murah... murah... semua murah, sebab para pedagang itu berikhtiar agar Bali terus menerus meriah.

Kebanyakan orang Bali, seperti biasa, jadi penonton. Mereka seperti tak dianggap ada oleh para pedagang itu. Banyak orang Bali termangu-mangu menyaksikan kebudayaan, roh, mereka diobral. Beberapa orang Bali bercakap-cakap sesama mereka, “Mungkin sudah takdir Bali menjadi barang dagangan.” Mereka menyadari Bali memang dijual murah sejak dulu. Perbincangan Bali dijual murah belakangan ini adalah pancaran kegelisahan kaum pedagang, yang berinvestasi besar di industri turisme, dan bimbang kapan modal kembali. Bali murah, Bali mahal, tak cuma urusan dagang, tapi juga bukti sikap mendua orang Bali. Mereka tak suka kebudayaan mereka diperdagangkan, tapi getol menggelorakan pariwisata budaya, selalu suntuk dan gesit memperdagangkan kebudayaan. Mereka mencela pedagang kebudayaan, tapi di saat sama mereka kaya berkat menjual kebudayaan. *

Aryantha Soethama
Pengarang

Komentar