nusabali

Ratusan Massa Penuhi Pengadilan Tipikor

  • www.nusabali.com-ratusan-massa-penuhi-pengadilan-tipikor

Sidang dugaan korupsi di Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Desa Adat Kapal, Mengwi, Badung yang mengakibatkan kerugian negara Rp 15 miliar dengan terdakwa Kepala LPD Kapal (non aktif), I Made Ladra, 53 dilanjutkan di Pengadilan Tipikor Denpasar, Selasa (11/12).

Sidang Korupsi LPD Desa Adat Kapal

DENPASAR, NusaBali
Sidang kali ini dipenuhi ratusan massa berpakaian adat yang berasal dari 18 banjar di Desa Adat Kapal. Kedatangan ratusan massa Desa Adat Kapal ini untuk memantau langsung jalannya persidangan yang kini masuk agenda pemeriksaan saksi-saksi. “Kami ingin mengetahui sejauh mana perkembangan kasusnya. Karena di bawah, masyarakat juga sering menanyakan itu,” jelas Ketua Forum Kelian Adat Se-Desa Adat Kapal, I Ketut Sudira yang ditemui.

Ia mengatakan karena kasus yang mendera LPD Desa Adat Kapal, membuat warga panik dan terpukul secara ekonomi. Karena uang yang mereka simpan di sana tidak bisa ditarik untuk dimanfaatkan. Bahkan beberapa warga yang menjadi nasabah hingga meninggal dunia karena kepikiran uangnya tidak bisa ditarik. “Ada kejadian yang mau nikahkan anak tapi batal. Terus ada warga yang mau bikin karya, tapi tidak jadi,” bebernya.

Sementara itu, dalam sidang Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan 5 saksi dihadapan majelis hakim pimpinan Engeliky Handjani Day. Lima saksi tersebut yaitu Nyoman Ciptanadi dan Made Suandi (Tim Verifikasi), Ni Wayan Yuliani (kolektor), I Made Jaya dan Ni Luh Suryasning (warga/nasabah).

Saksi Ciptanadi dan Suandi mengatakan perkara ini muncul setelah kisruh di LPD Desa Adat Kapal memanas. Masyarakat yang jadi nasabah tidak bisa menarik dana mereka. Sehingga desa adat setempat menggelar paruman. Sehingga dibentuklah tim verifikasi pada 2016 lalu.

Dari hasil verifikasi itulah, muncul beberapa temuan. Beberapa di antaranya pemberian kredit yang tidak sesuai prosedur. Kemudian ada kredit dengan nilai besar yang hanya dinikmati oleh orang-orang tertentu. Kemudian kredit yang direkayasa dan pencairannya di bawah batas maksimal pemberian kredit (BPMK). “Serta pelanggaran yang menyangkut prinsip kehati-hatian. Biasanya kredit diawali dengan permohonan. Namun tidak ada. Atau jaminan yang tidak sesuai dengan nilai kredit yang diberikan,” ujar Ciptanadi. *rez

Komentar