nusabali

Nyaman Dalam Ruang

  • www.nusabali.com-nyaman-dalam-ruang

RUANG adalah sinomin desa dalam desa kala patra. Konsep dasar desa berdimensi jamak seperti kala atau waktu.

Konsep desa bisa menjadi sebuah perangkap. Batas desa yang ketat menyembunyikan perangkap bagi krama yang kurang paham. Melintasi ruang krama lain akan dihadang oleh sebuah ancaman. Berkutat dalam satu ruang juga dapat menumbuhkan fanatisme, satu krama berselisih krama lain ikut menyerang tanpa menimbang benar dan salah. Tawuran dan perselisihan antardesa sering terjadi yang menyebabkan ketidak-nyamanan.

Organisasi ruang menjadi desa adat dan desa dinas dapat menumbuhkan otoritas berbeda. Pola budaya menjadi berbeda dalam kedua ruang tersebut. Pola komunikasi yang terbentuk berbeda juga. Dalam desa adat komunikasi merupakan kumpulan perilaku adat istiadat. Sedangkan, komunikasi dalam desa dinas berfokus pada aturan berbangsa dan bernegara. Polarisasi demikian amat potensial menimbulkan konflik dalam kehidupan. Sebaiknya, polarisasi demikian diunifikasi dalam satu pola budaya sehingga perbedaan dapat diminimalkan.

Komunikasi berbeda ruang karena status dan atribut sosial dapat menciptakan jarak. Jarak yang lebar antarsatu dengan lainnya potensial melahirkan konflik atau ketidak-nyamanan. Status sosial dominan sering menghegemoni status sosial subordinat. Krama elite yang merasa memiliki ‘power’ kemudian menggunakan kekuasaan untuk meraih tujuan. Krama cilik tunduk kepada kekuasaan dan mereka cenderung menjadi objek ketimbang subjek. Status dan kelas sosial menentukan apa yang bakal terjadi antara individu dan kelompok dalam masyarakat. Ketika jarak antarindividu amat lebar, maka kondusivitas sosial akan menjadi semakin renggang. Sebaliknya, interaksi interpersonal bersifat multi-lateral, maka soliditas pakraman semakin terjamin. Perbedaan adalah sebuah dinamika dan pelangi kehidupan. Perbedaan tidak seharusnya menimbulkan konflik. Inilah satu konsep dasar komunikasi yang menjamin kenyamanan.

Dalam komunikasi tatap muka, jarak kadang memiliki makna tertentu. Kedekatan saat berbincang bermakna persaudaraan atau keakraban. Sedangkan, jarak berbicara agak jauh menunjukkan rasa hormat. Dalam budaya barat, berbicara tanpa menatap mata dipandang kurang sopan atau tidak ada perhatian. Kalau di Bali, menatap mata dipandang kurang sopan, ‘matane telektekange’. Menatap mata secara langsung dipandang menantang identitas lawan bicara. Kesantunan berbicara didasarkan atas ‘sor singgihing basa’. Menurut pakar sosiolinguistik, penutur harus memiliki kompetensi komunikatif (communicative competence) atau kompetensi sosiolinguistik (sociolinguistic competence).

Kompetensi berkomunikasi dapat dimiliki apabila penutur memahami ruang pembicaraan, seperti di mana, kapan, dan dalam suasana kebatinan bagaimana komunikasi berlangsung.  Faktor lain adalah karakteristik penutur, seperti jenis kelamin, umur, status, dan atribut sosial seseorang. Aras tutur (basa Bali Alus, Kapara atau Kasar) dan laras tutur (formal, informal) juga harus dipahami penggunaannya dalam berkomunikasi, agar tidak melahirkan terputusnya komunikasi (communication breakdown). Tujuan dan maksud komunikasi juga menentukan bentuk verbal yang cocok digunakan oleh penutur sesuai dengan budaya.

Norma, etika, dan moralitas budaya perlu diperhatikan agar ruang menjadi nyaman untuk berkomunikasi intrapersonal maupun interpersonal. Gumi Bali amat sarat dengan roh duniawi dan rohani. Komunikasi natural memang penting namun tidak cukup. Komunikasi natural harus diperkuat dengan komunikasi supra-natural. Kedua komunikasi tersebut hanya dapat dilakukan dengan memperkuat tattwa, susila, acara secara simetris. Asimetri ketiga kerangka tersebut akan berdampak ketidak-nyamanan, ketidak-harmonisan, atau ketidak-teraturan kehidupan di gumi Bali. Membuat ruang Bali menjadi nyaman merupakan keharusan. Keinginan duniawi harus diluruskan menggunakan watermeter kultural-religius yang benar. Pertumbuhan penduduk dan ekonomi harus disepadankan dengan peningkatan kualitas rohani dan budaya berkomunikasi secara produktif, santun, dan kreatif tanpa meninggalkan kearifan lokal. Semoga. *


Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya

Komentar