nusabali

Membaca Realitas dengan Gaya Batuan

  • www.nusabali.com-membaca-realitas-dengan-gaya-batuan

Pande Made Dwi Artha, kelahiran 4 Februari 1998, menggelar pameran tunggal ‘Define Us’ di Neka Art Museum, Ubud, Gianyar, 10 November – 9 Desember 2018.

Pelukis Muda Pande Dwi Artha Pamerkan ‘Define Us’

GIANYAR, NusaBali
Pada pameran dengan tag line ‘Reinterpertasi Lukisan Batuan’ ini, jebolan STIBA Denpasar ini lebih menguak realitas zaman kekinian dengan tetap memanfaatkan lukisan gaya Batuan sebagai media ungkap.

‘Define Us’ merupakan pengertian dan penghayatan pelukis mengenai kenyataan adanya dua keadaan yang berbeda (baik-buruk). Semua itu selalu berpasangan/berdampingan guna menegaskan (define) apa yang dipilih dalam bersikap dan bertindak. ‘’Apa yang kita (us) pilih menentukan jati diri kita dan posisi kita dalam jagat dan kehidupan,’’ ungkap Pande Dwi Artha.

Karya yang dipamerkan dengan memilih cerita dan objek berupa karakter pewayangan, tantri, cerita rakyat mapun manusia dalam kehidupan nyata. Lukisan-lukisannya mengajak audien untuk menginterpretasikan makna dari baik dan buruk dalam filosofi Bali dan secara universal dalam bentuk visual. Pameran ini menyajikan sekitar 20 lukisan yang merupakan reinterpretasi pelukis terhadap lukisan tradisi Batuan yang lebih muda. Beberapa karya yang telah dikoleksi turut dipamerkan untuk menunjukkan perkembangan pelukis. Sebagian besar lainnya merupakan karya baru yang dipersiapkan dari tahun 2017.

Ditektur Museum Neka JMK Pande Wayan Suteja neka mengatakan, Museum Seni Neka telah menegaskan posisi sebagai museum yang mendukung kelestarian dan perkembangan lukisan tradisional Bali. Upaya ini secara aktif dengan memperkenalkan dan memfasilitasi pelukis muda Bali untuk berpameran tunggal. Pameran tunggal seniman muda asal Desa Batuan, Kecamatan Sukawati, Gianyar ini merupakan agenda di akhir tahun 2018 ini.

Tema Pameran yang dipilih adalah berdasarkan penghayatan terhadap filosofi Bali rwa bhineda yang selalu ditemukan dalam setiap komponen kehidupan dan budaya di Bali. Rwa bhineda menjadi inti inspirasi dari kebanyakan lukisan yang akan dipamerkan.

Pande I Made Dwi Artha,20, dibesarkan dalam keluarga pelukis di Desa Batuan. Kakek buyutnya, I Patera (1900-1935) merupakan pelukis garda depan yang turut merumuskan langgam seni lukis Batuan yang terwariskan hingga kini. Ia mengolah seni lukis klasik Bali era I Dewa Nyoman Mura dan I Dewa Putu Kebes, dengan cara dan penggayaan baru melalui rentetan proses artistik yang khas dan berlapis. Dwi Artha sejak usia tujuh tahun sudah mulai melukis. Ia belajar langsung kepada ayahnya, I Ketut Kenur. Selain Pameran Tunggal pertamanya pada tahun 2017 berjudul “Urip, Awekening” di Titian Art Space Ubud, Pande Dwi Artha juga mengikuti beberapa pameran bersama sejak tahun 2010.

Kuratorial Pameran Dr I Wayan ‘Kun’ Adyana mengagumi karena Pande Dwi Artha di usia yang ke-20 telah menunjukkan talenta dan pencapaian karya yang layak diapresiasi dan diwacanakan. Karya-karya yang tetap menunjukkan akar, sekaligus kaya akan perspektif dan ajuan konseptual baru, ala generasi milenial yang kritis namun tetap riang dan bersahaja. ‘’Karya-karya Pande Dwi Artha juga memiliki kontribusi atas keberagaman peta visual seni lukis Batuan kontemporer,’’ ujar dosen ISI Denpasar ini. *

Komentar