nusabali

Ukiran Khas Buleleng Dibangkitkan Lagi

  • www.nusabali.com-ukiran-khas-buleleng-dibangkitkan-lagi

Bahan Serbuk Batu Paras Lebih Terlihat Teksturnya

SINGARAJA, NusaBali
Tak ingin kekhasan ukiran gaya Buleleng  ‘hilang’, sebanyak 50  tukang ukir dari sembilan kecamatan di Bali mendapat  pelatihan di Puri Seni Sasana Budaya pada  13-19 November. Pelatihan yang juga digelar pada tahun lalu tersebut dimaksudkan agar seni ukir khas Buleleng yang berbeda dengan sebagian ukiran asal Bali Selatan bisa tetap lestari.

Dinas Kebudayaan mulai menganggarkannya setiap tahun untuk pelestarian gaya ukiran Bali Utara yang selama ini tak banyak orang tahu. “Kami mengaktifkan kembali tukang ukir Buleleng untuk menguasai dan tahu cara membuat ukiran khas Buleleng yang selama ini belum begitu berkembang di masyarakat. Tahun depan  kami juga sudah siapkan anggaran agar peserta pelatihan mendapatkan satu paket alat ukir,” ujar Kepala Bidang Sejarah dan Purbakala, Dinas Kebudayaan Buleleng, Gede Subur,  Rabu (14/11).

Selain sebagai upaya pelestarian, Dinas Kebudayaan juga sudah merancang program  bangunan gedung pemerintah yang baru wajib disertai dengan ukiran gaya Buleleng di beberapa bagiannya. Untuk mempersiapkan itu, pihaknya pun mulai melatih puluhan tukang ukir. Sehingga begitu ada permintaan,  sudah ada tukang ukir kompeten di bidangnya.

Sementara itu dalam lima hari pelatihan diisi oleh ahli ukir khas Buleleng, Nyoman Suma Argawa seniman asal Desa Bungkulan dan Gede Sujana, ahli ukir asal Tejakula. Menurut Sujana, gaya ukiran khas Buleleng memang jauh berbeda dari ukiran Bali Selatan.

Perbedaan mencolok terletak pada bahan yang digunakan. Jika ukiran Bali Selatan menggunakan pasir melela (pasir hitam mengkilap) ukiran Buleleng menggunakan serbuk batu paras. “Warna yang dihasilkan dari serbuk parasnya antik, semakin lama semakin bagus dan mengkilat,” ujar dia.

Selain itu dari bentuk gambar yang dipahat pun terlihat jelas. Gaya ukiran khas Buleleng memiliki bentuk ukiran yang lebih besar. Biasanya menggambarkan daun, bunga dan hewan. “Kami sebagai seniman mengapresiasi upaya pemerintah untuk menghidupkan kembali seni ukir khas Buleleng. Karena selama ini tukang ukir asli Buleleng banyak yang tidak bisa, karena mereka sudah terlanjur dari awal belajarnya pakai bias melela,” ungkapnya.

Sementara itu peserta pelatihan, Ketut Snati asal Desa/Kecamatan Tejakula dan Komang Ardika asal Desa Pemuteran, Kecamatan Gerokgak  mengakui gaya ukiran khas Buleleng memiliki kesulitan soal ketahanan bahan. Serbuk paras yang digunakan disebut cepat kering dan retak. “Kalau dari segi seni dan taksunya saya suka liat yang gaya Buleleng, tapi kendalanya, bahannya cepat kering dan mudah retak, sehingga perlu kecepatan da kesigapan dalam penggarapan,” ungkap Santi.

Hal serupa juga disampaikan oleh Ardika yang sebenarnya adalah spesialias tukang ukir kayu. Hanya saja ia mengambil kesempatan untuk belajar mengukir gaya Buleleng. “Mumpung ada kesempatan saya belajar, saya ikut, bagaimanapun juga gaya ukiran ini kan punyanya kita juga yang harus dilestarikan,” tegasnya. *k23

Komentar