nusabali

Identitas Kelompok di Gumi Bali

  • www.nusabali.com-identitas-kelompok-di-gumi-bali

NAMA mengindikasikan identitas kelompok sosial di Bali. Kalau sebuah nama diawali dengan Ida Bagus atau Ida Ayu dapat dipastikan mereka dari kelompok Brahmana.

Cokorda Gede atau Istri, Anak Agung Gede atau Anak Agung Istri, I Dewa  Gede atau Dewa Ayu, Dewa atau Desak adalah identitas kelompok Kesatria. I Gusti Ngurah atau I Gusti Ayu milik kelompok Waisya. Sedangkan, I Wayan atau Ni Nyoman merupakan identitas kelompok sosial Sudra. Menariknya identitas sosial tersebut didasarkan atas asal usul, bukan atas substansi atau proses etnisitas. Artinya, kalau seseorang lahir dari orangtua beridentitas Brahmana, maka otomatis ia memiliki atribut sebagai Brahmana. Demikian kelompok sosial lainnya menggunakan nama sebagai identitas diri atau konsep diri kultural, meminjam istilah antropolog mumpuni Keefe dan Padilla (1987).

Konsep diri kultural krama Bali didasarkan atas pendekatan struktural, bukan pendekatan fenomenologis. Pendekatan struktural melihat sebuah kelompok berdasarkan atas fungsi normatif sosial masa lampau. Misalnya, Brahmana lebih berkutat pada urusan adat dan agama, sedangkan Kesatria memegang kendali kekuasaan. Waisya lebih memfokuskan diri pada perdagangan, sedangkan Sudra berkisar pada pertanian dan perburuhan. Saat ini, fungsi sosial tersebut tidak lagi menjadi ciri budayanya masing-masing. Telah terjadi dinamika luar biasa pada konsep diri kultural tersebut.

Perkawinan lintas kelompok sosial menjadi bukti tergerusnya identitas diri. Misalnya, seorang wanita Brahmana dinikahi oleh pria Sudra, maka sang wanita tidak lagi memiliki identitas asalinya (secui naturam). Dalam berbahasa pun sang wanita diharuskan menggunakan basa Bali Alus kepada orangtuanya. Kata-kata sapaan ‘aji’ berganti menjadi ‘ratu aji’, dan sebagainya. Ketika pasangan tersebut melakukan upacara tiga bulanan, maka orangtua wanita tidak boleh menikmati ‘ayaban’ cucunya tercinta. Keterikatan normatif terhadap norma kelompok membuat hal yang tak masuk akal menjadi berterima. Masih banyak contoh tata pikir dan tata perilaku krama Bali didasarkan pada pendekatan struktural atau pendekatan objektif.

Pendekatan struktural lebih didasarkan atas asumsi menyerupai asumsi dalam ilmu alam dasar. Asumsinya bahwa realitas sosial bersifat teratur dan ajeg sepanjang waktu. Apa yang dimiliki dan dilakukan leluhur otomatis menjadi identitas kultural keturunannya. Tidak ada yang boleh berubah atau berganti. Kalau seseorang keturunan menderita atau mengalami nasib buruk, maka ia ditengarai ‘kepongor’ atau kuwalat pada leluhur. Hipotesis demikian bersifat amat positivistic. Penjelasan tentang suatu sebab-akibat menggunakan metode hypothetico-deducto (Jones,1985). Kalau sebuah keluarga hancur baik secara ekonomi maupun sosial, maka hal tersebut dikorelasikan dengan ketidakpernahan ‘tangkil nyakupang tangan’ ke kawitan atau leluhur? Hal-hal baik dan buruk lainnya selalu didasarkan atas hipotesis.

Sebaliknya, pendekatan fenomenologis atau pendekatan subjektif memandang identitas kultural bukan bersifat statis melainkan dinamis (Cooley,1902 dan Mead,1934). Kaum subjektif memandang identitas diri mengemuka lewat tanda-tanda budaya, seperti pikiran, perasaan, dan perkataan dalam kaitannya dengan orang lain. Misalnya, seorang Kesatria ketika ia berbicara menggunakan basa Bali Kasar, ‘cai sing dadi mejujuk ditu!’, akan dijawab kasar ‘cai dadi mejujuk ditu?’. Asumsi identitas diri lebih tinggi dari orang lain tidak berlaku pada zaman now. Semua orang harus dihargai dan dihormati. Kasus pernikahan lintas identitas kultural pun direspons beragam. Ada yang mengharuskan berbahasa Bali sesuai ketentuan, namun adapula yang permisif. Ada juga bersifat transaksional maupun situasional, yaitu di depan orang banyak menggunakan basa Bali Alus, tetapi dalam situasi tersendiri menggunakan basa Bali Kapara.

Ada fenomena lain, yaitu berganti identitas atau osilasi (oscillate). Misalnya, ‘seorang bule’ fasih menggunakan basa Bali Alus. Ia menggunakan basa Bali Alus untuk meraih simpati atau bahkan memeroleh nama baru Ida Bagus Stephen. Demikian juga perilaku jorok dan kasar diberi kategori ‘wang tani kelen’, tetapi karena kesopanan dan ketinggian budinya ia dijuluki sebagai ‘tri wangsa’. Barth (1969) beranggapan bahwa identitas kultural bersifat dinamis dan situasional. Identitas diri selalu diinteraksikan dengan orang dan situasi lain. Identitas kultural dimanipulasi untuk kepentingan pribadi, sosial, ekonomi, dan politis menggunakan pendekatan fenomenologis. Semoga krama Bali menjadi arif menerapkan kedua identitas kultural tersebut. *

Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya

Komentar