nusabali

Dalam 17 Tahun, 27 Kali Serangan Bom Besar

  • www.nusabali.com-dalam-17-tahun-27-kali-serangan-bom-besar

Kapolda Bali Irjen Pol Dr Petrus Reinhard Golose wakili Kapolri Jenderal Pol Prof H Muhammad Tito Karnavian PhD dalam acara Indo Defence 2018 Expo & Forum di Hall C3 JIExpo Kemayoran, Jakarta, Kamis (8/11).

Kapolda Bali Jadi Pembicara di Indo Defence 2018 Expo & Forum

DENPASAR, NusaBali
Kapolda Petrus Golose sekaligus menjadi pembicara dengan tema ‘Menjamin Stabilitas Regional melalui Kerjasama dalam Penanggulangan Terorisme’. Terungkap, dalam kurun 17 tahun terakhir, terjadi 27 kali serangan bom besar di Indonesia.

Dalam paparannya, Kapolda Petrus Golose mengatakan bahwa terorisme telah menjadi permasalahan global bagi negara-negara di dunia. Aksi terorisme telah menimbulkan berbagai kerugian. Makanya, kerjasama melawan terorisme sangat penting dilakukan.

Menurut Petrus Golose, dalam kurun 17 tahun sejak 2000 hingga 2017, sudah terjadi 27 kali serangan bom besar di Indonesia. Termasuk di antaramya dua kali serangan bom di Pulau Dewata, yakni Bom Bali I (12 Oktober 2002) dan Bom Bali II (1 Oktober 2005). Selama tahun 2018 ini, telah terjadi 21 aksi teror. Dalam kurun 2 tahun terakhir, aksi teror dilakukan oleh jaringan teror Jamaah Anshorut Daulah (JAD) yang sebagian besar targetnya adalah aparat kepolisian dan gereja.

“Saat ini, jaringan kelompok terstruktur yang ada di Indonesia terbagi atas dua afiliasi, yaitu ISIS dan Al Qaeda. Dari dua afiliasi tersebut, ada beberapa kelompok seperti Jamaah Anshorut Daulah (JAD), Jamaah Ansharut Khilafah (JAK), Mujahidin Indonesia Timur (MIT), Jamaah Anshorut Syariah (JAS), dan Jamaah Islamiyah (JI). Kelompok-kelompok ini juga berhubungan dengan jaringan teror di Asia, juga di Irak dan Suriah,” tandas Petrus.

Jenderal Polisi Bintang Dua lulusan Akpol tahun 1988 ini mengatakan terjadi pergeseran modus operandi yang dilakukan jaringan terorisme, antara lain, propaganda yang sebelumnya secara konvensi melalui buku, majalah, poster, dan pamflet, menjadi mengeksploitasi dunia maya. Selanjutnya, rekrutmen yang sebelumnya merekrut anggota dengan latar belakang pendidikan rendah dan ekonomi kelas menengah ke bawah, berubah menjadi yang berpendidikan tinggi dan asal kelas ekonomi atas dengan melibatkan anak-anak serta istri sebagai pelaku bom bunuh diri.

Selain itu, kata Petrus, pengadaan logistik hingga pendanaan juga terjadi perubahan. Pengadaan logistik yang sebelumnya dilakukan secara konvensional, berubah jadi pendanaan melalui transaksi online. “Melihat pergeseran modus operandi tersebut, perlu kerjasama seluruh stakeholder terkait dalam hal penanganan aksi terorisme. Aktivitas terorisme selalu berputar dan terhubung satu sama lain, mulai dari recrutmen, training, logistic provision, paramilitary formation, planning, execution of attack, hiding, fundraising hingga propaganda,” tandas perwira tinggi yang andil dalam penggerebekan gembong teroris asal Malaysia, Dr Azhahari, di Batu, Malang, November 2005 ini.

Menurut Petrus, aksi terorisme juga terjadi pergeseran metode, sasaran, dan penampilan para pelaku. Kini mereka lebih mengedepankan metode aksi teror yang disebut sebagai amaliyah, yaitu amaliyah istisyhadiyah, di mana para pelaku siap melakukan serangan dengan bom bunuh diri. Pelaku juga siap amaliyah inghimas, yakni melakukan serangan sampai dibunuh oleh musuh, seperti ditembak polisi.

“Mereka juga mulai menggunakan metode yang disebut unexpeted actors, yaitu melibatkan anggota keluarga, perempuan, dan anak-anak untuk melakukan aksi teror secara langsung, seperti yang terjadi di Surabaya. Ini merupakan aksi pertama yang terjadi di dunia,” jelas perwira tinggi yang menjabat Kapolda Bali sejak Desember 2016 ini.

Petrus mengatakan, sejak dideklarasikan tahun 2014, ISIS jadi magnet bagi orang Indonesia untuk bergabung dalam jihad global dengan bendera ISIS di Irak dan Suriah. Dalam catatan Satgas Counter FTF, WNI yang diketahui bergabung dengan jaringan terorisme internasional dalam konflik dunia 2015-2018 sebanyak 1.506 orang.

Terkait penanggulangan ancaman terorisme, menurut Petrus, Polri memiliki strategi yang berdasarkan pada persatuan bangsa, yaitu empat pilar strategi penanggulangan terorisme dan ASEAN strategi dalam kegiatan pertemuan tingkat menteri tentang kejahatan transnasional. Dari kedua perangkat kerangka kerja hukum internasioal tersebut, maka strategi nasional dalam penanggulangan terorisme terbagi menjadi dua strategi, yaitu soft power (terdiri dari kontra radikalisasi, kontra ide-ologi, deradikalisasi) dan hard power (dalam bentuk penegakan hukum dengan mengedepankan serangan preemtif, yaitu penegakan hukum yang dilakukan untuk mencegah tindakan teror). *

Komentar