nusabali

Antara Bangga dan Tabrakan Moral

  • www.nusabali.com-antara-bangga-dan-tabrakan-moral

Hasrat segera punya cucu, dan ungkapan pang de mocol ngelah mantu, merupakan pandangan keliru. (Jero Gede Putus Suwena Upadesha).

Gadis Bali Tak Lagi Malu Beling Malu

FENOMENA beling malu (hamil sebelum menikah,Red) kini terkesan lumrah. Ungkapan sing beling sing juang (tidak hamil, tidak dinikahi) pun jadi lazim. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran pemaknaan di masyarakat. Intinya, masyarakat Bali makin ‘mewajarkan’ adanya gadis hamil sebelum nikah.

Pada era 1980-an ke bawah, kasus hamil sebelum menikah di Bali dianggap sebuah aib yang menimpa keluarga perempuan. Di mata masyarakat ‘kasus’ ini dianggap sebuah wujud pelecehan martabat keluarga perempuan oleh pihak lain. Anggapan lain yakni gadis beling malu jadi korban pelecehan moral oleh laki-laki. Apalagi laki-laki itu dari keluarga berbeda klan dengan pihak perempuan.

Namun belakangan ini, asumsi masyarakat tentang ‘kasus’ beling malu, makin terbalik. Beling malu malah jadi kebanggaan pihak keluarga pawarangan (orangtua kedua mempelai). Calon mempelai perempuan juga membawa hamilannya dengan biasa-biasa saja. Tak ada cemooh, apalagi pelecehan martabat, seperti era dulu. Beling malu juga dianggap keberuntungan. Karena orangtua pawarangan bisa memastikan, dan kebanyakan, lebih suka segera punya cucu. Mereka tak ingin mempelai perempuan mandul.

Melihat fenomena ini, Bendesa Agung Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Provinsi Bali, Jero Gede Putus Suwena Upadesha mengatakan, pandangan masyarakat yang seakan menganggap hamil di luar nikah adalah hal biasa merupakan pandangan yang keliru. Menurutnya, hal tersebut sudah bertentangan dengan tatanan adat dan budaya Bali yang berdasarkan agama Hindu. Dengan alasan apapun, hal tersebut tetap tidak dibenarkan.

“Kejadian seperti itu jika dilihat dari perspektif adat terutama dalam desa pakraman, tetap sebagaimana yang sejak dulu dikatakan sebagai aib. Syarat-syarat perkawinan secara adat kan ada. Terlebih lagi adanya UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Kalau misalnya sekarang perkawinan belum dilakukan, namun sudah hamil di luar nikah, itu sudah bertentangan dengan adat dan budaya Bali,” ujarnya saat dihubungi NusaBali, Kamis (25/10).

Fenomena beling malu hingga menikah muda bukan terjadi belakangan ini. Menurut Jero Bendesa, hal ini sudah terjadi sekitar tahun 1960-an. Saat itu bahkan ada yang menikah muda umur 12 tahun. Namun kala itu, kasus semacam ini masih sangat tabu untuk diekspose atau diberitakan media. Akan tetapi setelah beberapa tahun belakangan ini, ternyata hamil di luar nikah semakin marak, bahkan dianggap biasa saja bagi kedua mempelai, bahkan kedua belah pihak besan. “Malah ada yang pernah saya temukan, ketika saya kundangan hari ini, sorenya anaknya lahir. Karena khawatir, takut anak lahir gak ada bapaknya. Jadinya ngantennya dadakan itu. Saya pernah menghadiri,” tuturnya.

Menurutnya, bangga punya menantu beling malu

karena hasrat segera punya cucu, dan ungkapan pang de mocol ngelah mantu, merupakan pandangan keliru. Seharusnya tidak demikian, justru diajarkan kepada anak-anaknya agar paham aturan adat, dan aturan formal maupun non formal. ‘’Perempuan harus menjaga kesucian diri, karena harga diri ada di situ,” tegasnya.

Sementara itu, dalam tatanan adat kalau perempuan sampai melahirkan tanpa ada ayah, maka akan ada sanksi moral seperti dikatakan anak bebinjat atau anak yang tidak jelas. Selain itu, tentu akan menjadi bahan pembicaraan di masyarakat. Maka, untuk menyelesaikan kasus beling malu ini, dicarilah jalan keluar dengan upaya damai dari kedua belah pihak keluarga.

“Karena sudah kadung terjadi seperti itu, dicarikanlah solusi jalan damai dalam raraosan (pembahasan perkawinan), supaya jangan sampai anak yang dikandung oleh mempelai wanita dianggap anak bebinjat atau anak yang tidak jelas keturunan bapaknya. Kedua belah pihak keluarga menggunakan jalan damai. Ya, agar tidak malu dan dianggap tidak beretika,” terangnya.

Secara umum, awig-awig tentang perkawinan di Bali dilaksanakan dengan syarat-syarat tertentu, sama dengan hukum nasional yakni UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Prkawinan. Di antaranya, usia calon mempelai harus cukup, suka sama suka, dan dilarang untuk melakukan hubungan suami istri sebelum adanya suatu upacara pernikahan yang sah menurut hukum adat Bali. Selain itu, bila belum menikah cukup umur harus ada izin orangtua untuk pembimbingan, pembinaan, dan perngawasan dalam menjalani Grahasta Asrama.

“Dengan alasan apapun, hamil di luar nikah itu tidak dibenarkan dan diperkenankan. Upaya jalan damai itu hanya salah satu alternatif karena sudah kadung terjadi. Bukan sebagai pembenar. Ini selain bertentangan dengan awig-awig, juga bertentangan dengan norma agama, susila dan norma hukum,” tegasnya.

Lalu, bagaimana menanggapi kasus beling malu yang kian marak terjadi? Menurut Jero Bendesa Agung, perlu penguatan pendidikan baik di tingkat formal maupun nonformal. Pendidikan itu bisa di dalam pasraman yang ada di desa-desa. Sejak dini anak-anak diberikan pemahaman yang baik dalam memahami sebuah perkawinan. Sebab perkawinan tidak saja urusan personal, melainkan juga bagaimana tatanannya dalam adat dan hidup bermasyarakat. Anak-anak dan remaja hendaknya dididik untuk selalu menjaga diri dan menghormati norma-norma yang berlaku. “Inilah perlu ada suatu pendidikan dalam pasraman di desa, baik oleh pengurus desa maupun orang tuanya dan keluarganya. Jangan sampai bertentangan dengan norma-norma agama, adat, susila dan hukum. Ini harus terus disosialisasikan. Tanamkan tidak saja di pasraman, melainkan juga di pendidikan formal. Ajarkan tentang norma adat Bali, kultur Bali, dan ajaran agamanya agar kuat,” tandasnya. *ind

Komentar