nusabali

MUTIARA WEDA : Himsa – Ahimsa

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-himsa-ahimsa

Ketahuilah bahwa menyakiti makhluk bergerak maupun tidak bergerak yang sudah ditentukan untuk tujuan Veda, bukanlah menyakiti sama sekali, karena Vedalah hukum suci itu asalnya.

Yā vedavihitā himsā niyatā smimccarācare

Ahimsāmeva tām vidyād vedāddharmo hi nirbabhau.
(Manavadharmasastra, V: 44)


PADA prinsipnya Veda mengajarkan ahimsa, yakni tidak membunuh atau menyakiti. Ajaran ini tentu sangat mulia karena mengandung prinsip-prinsip kemanusiaan yang tinggi. Tidak ada satu pun manusia ingin disakiti oleh orang lain, sehingga Veda memformatnya menjadi sebuah ajaran yang disebut ahimsa. Ini tentu bagus karena Veda ada sepenuhnya untuk keperluan manusia. Veda merepresentasikan segala bentuk kebaikan dan kewajiban manusia untuk kesejahteraannya. Veda ada untuk kepentingan manusia, bukan manusia ada untuk kepentingan Veda. Seperti itulah kebenarannya di awal. Apa-apa yang menjadikan manusia bisa mengingat kembali segala keilahian di dalam dirinya tertuang di dalam Veda. Hal ini terjadi oleh karena manusia sepenuhnya diselimuti oleh Avidya. Melalui Veda-lah mereka belajar dan kemudian menyadari kembali keilahiannya.

Namun, dalam perkembangannya, terkadang sesuatu yang berkebalikan bisa terjadi. Ketika manusia memuliakan Veda dan menjadikan Veda sebagai segala-galanya, terkadang hal yang berkebalikan bisa terjadi. Orang melakukan sesuatu demi untuk tujuan Veda dan apapun yang diperintahkan di dalamnya adalah sebuah hukum yang harus ditaati. Kepatuhan dan ketundukan adalah syarat utama di dalam menjalankan Veda. Seperti misalnya teks di atas. Oleh karena tujuan Veda dan Veda yang menyatakan demikian sebagai sebuah hukum mutlak, maka himsa boleh dilakukan. Orang kemudian boleh menyakiti dan membunuh jika itu untuk tujuan Veda. Ini tentu berkebalikan dengan ajaran awal, yakni Veda mengajarkan ahimsa, kemudian belakangan atas nama Veda himsa boleh dilakukan.

Awalnya Veda merupakan sebuah media untuk kemuliaan manusia, tetapi dalam perjalanan waktu manusia menjadi sebuah media untuk kemuliaan Veda. Ibarat kendaraan, awalnya kendaraan berfungsi untuk memudahkan kehidupan manusia, tetapi belakangan manusia disusahkan untuk memudahkan memperoleh kendaraan. Saat ini orang pontang-panting kerja keras untuk membeli kendaraan mentereng. Tujuannya punya kendaraan tersebut lebih pada tujuan gaya bukan kebutuhan primer. Seperti itulah terjadi dewasa ini.

Di awal apa yang diajarkan lebih berupa kebenaran universal, tetapi kemudian ajaran itu menjadi sebuah pembenaran. Apa yang terjadi sebenarnya? Manusia yang terselimuti awidya lah penyebabnya. Ketika ajaran kebenaran diajarkan secara turun-temurun, kemurniannya akan semakin memudar. Bukan ajarannya yang memudar, melainkan kesadaran pengikutnyalah yang memudar sehingga kemungkinan untuk mengkorup makna yang sebenarnya dalam teks bisa terjadi. Dan orang yang korup tersebut adalah mereka yang memiliki kuasa atas teks tersebut. Demi sebuah kepentingan, teks bisa ditambahkan atau dikurangi atau disamarkan atau diinterpretasi keliru.

Jika kita analisis dengan pemikiran yang tajam, dengan membandingkan ajaran upanisad tentang ahimsa, tentu ajaran di atas menjadi sangat paradoks. Bagaimana mungkin oleh karena alasan Veda kemudian himsa menjadi memiliki kebenaran. Jika demikian, tentu fungsi Veda menjadi berubah total, yakni awalnya hanya sekadar sebagai penuntun manusia, lalu kemudian berubah menjadi penguasa mutlak yang membolehkan manusia melakukan tindakan yang bertentangan dengan kebenaran dirinya yang sejati. Veda yang belakangan ini tentu telah dimasuki oleh penguasa dengan dalih teks. Ada maksud yang harus dipertahankan mengapa teks tersebut menjadi demikian. Satu alasannya yang pasti adalah zaman dulu, orang melaksanakan upacara ritual dengan menggunakan binatang. Untuk melegalkan hal tersebut, maka teks suci harus memberikan justifikasinya. Jadi, dalam rangka itu mengapa teks yang suci seperti manavadharmasastra di atas terselip sloka yang bertentangan dengan ajaran sebelumnya. Apakah teks seperti di atas kemudian salah? Tidak ada yang salah, tetapi hal yang pokok adalah masalah kontradiktif saja. Ini bisa kita pikirkan bersama bagaimana me-link-kan kebenaran yang ada di dalamnya. Jika tidak ada link, maka kita sebenarnya boleh meniadakan salah satu dari dua jenis ajaran tersebut. *


I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Insttute of Vedanta 

Komentar