nusabali

Carma Citrawati, Penulis Asal Klungkung yang Setia dengan Bahasa Bali

  • www.nusabali.com-carma-citrawati-penulis-asal-klungkung-yang-setia-dengan-bahasa-bali

Citra juga sebagai Perempuan Bali pertama yang menorehkan prestasinya dalam bidang menulis kumpulan cerpen berbahasa Bali dalam Anugerah Sastra Rancagé 2017 oleh Yayasan Kebudayaan Rancagé

SEMARAPURA, NusaBali
Bernama lengkap Dewa Ayu Carma Citrawati, dara kelahiran Getakan, 24 Februari 1990 yang akrab disapa Citra ini, memiliki hobi yang sangat jarang disukai oleh anak muda seusianya, yaitu menulis karya sastra dengan Bahasa Bali. Seiring dengan perkembangan zaman yang telah menginjak abad ke-21 yang semakin menuntut anak muda untuk menguasai teknologi dan bahasa asing, bahasa ibu – dalam hal ini Bahasa Bali – kian ditinggalka karena lidah dirasa lebih akrab menggucap Bahasa Indonesia bahkan Bahasa asing (red: Bahasa Inggris). Namun, hal tersebut tidak membuat Citra lantas gentar untuk tetap setia mengajeggkan bahasa ibunya, Bahasa Bali.

Sulung dari lima bersaudara ini telah menempuh Pendidikan sekolah menengah atas di SMAN 1 Banjarangkan, lalu melanjutkan ke Pendidikan strata satu (S1) di Jurusan Sastra Bali, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana, hingga telah menamatkan pendidikan program magisternya (S2) di Jurusan Ilmu Linguisik Murni, Universitas Udayana.

Beranjak dari latar belakang tersebut, buah hati dari pasangan Dewa Nyoman Suarta dan Jero Ketut Astuti ini telah memulai kecintaannya dalam bidang menulis karya sastra sejak duduk di sekolah menengah pertama, namun kala itu ia menulis dengan Bahasa Indonesia.
Barulah, ketika duduk di bangku kuliah, Citra perlahan diperkenalkan dengan kesusastraan Bahasa Bali oleh dosennya.

“Awal mulanya menulis dengan Bahasa Bali itu ketika kuliah, sering mengisi mading, lalu salah seorang dosen pengampu mata kuliah Proses Kreatif mengiming-imingi, barang siapa yang karyanya bisa masuk di BaliPost, maka akan diberi nilai A. Dari situ saya menulis dengan Bahasa Bali dan mulai cocok karena ada beberapa kata yang tidak bisa saya ungkapkan dengan Bahasa Indonesia dan justru ketemunya di Bahasa Bali,” papar Citra saat ditemui NusaBali seusai mengisi Jumpa Pers UWRF 2018 (16/10) di Kubu Kopi, Jalan Hayam Wuruk, Denpasar.
 
Tidak berhenti di bangku kuliah. Pertemuannya dengan banyak kawan sesama penulis Bali membuatnya lebih mantap untuk berada di jalur Sastra Bali Modern dengan konsentrasi cerpen (red: cerita pendek). Namun, dirinya sempat menyayangkan karena jumlah penulis perempuan sangat sedikit di Bali, terlebih yang menggunakan Bahasa daerah.

“Mengingat sedikitnya penulis perempuan, terlebih yang menggunakan Bahasa Bali, saya pikir saya harus mengajak teman-teman untuk mulai berkontribusi dalam bidang Bahasa, dan apa yang dikontribusikan, sudah tentu dalam bidang yang disuka. Saya suka menulis, sayaterus kembangkan dan dalami itu,” ungkap perempuan yang dahulu pernah mengajar Bahasa Bali di SMPN 3 Denpasar tersebut.

Dirinya mengaku sempat menemui kesulitan ketika menulis. Banyaknya ide yang susah ditampung dan p=klkurang banyaknya referensi yang dibaca, menyebabkannya sulit dalam memproduksi sebuah tulisan. Namun, dengan kegigihan dan kecintaannya terhadap Bahasa Bali, ia tetap menulis walau sedikit demi sedikit.

Gayung bersambut, hobi yang selama ini digeluti Citra pun telah menorehkan prestasi gemilang, salah satunya yang menurutnya paling berkesan yaitu, menerima Anugerah Sastra Rancagé 2017 untuk buku kumpulan prosa pendek berbahasa Bali ‘Kutang Sayang Gemel Madui’ dari Yayasan Kebudayaan Rancagé, yaitu sebuah penghargaan untuk penulis yang tetap berkarya dengan menggunakan bahasa ibunya. Pada saat itu, karya yang menerima penghargaan terdiri dari bahasa Jawa, Sunda, Bali, dan Lampung. Citra pun sempat bersaing ketat dengan 12 karya lainnya dari penulis-penulis kawakan asal Bali.

Terhitung hingga sekarang, ada dua buku yang telah diterbitkan oleh Citra, di antaranya, Smara Reka (2014), hasil kolaborasinya dengan sang suami dan Kutang Sayang Gemel Madui (2016). Kedua buku tersebut merupakan antologi prosa pendek berbahasa Bali dan masing-masing berjumlah 13 judul cerpen. Karya-karya Citra yang lain bisa dijumpai dalam beberapa antologi bersama, seperti; Campuhan Rasa, Denpasar Kota Persimpangan, SanurTetap Ramai, serta antologi lainnya. Tulisan-tulisannya juga kerap dimuat di kolomOrti Bali BaliPost juga dalam kolom Mediaswari Pos Bali. Dalam waktu dekat,dirinya mengaku akan meluncurkan sebuah buku kumpulan cerpen yang masih dirahasiakan judulnya. cb xzTahun ini pula, Citra akan tampil sebagai Penulis Undangan di event sastra bertaraf internasional, Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2018.

Hingga kini, Citra masih sering aktif menulis lontar dan aktif berkecimpung dalam beberapa komunitas, antara lain, Komunitas Hanacaraka Society dan Aliansi Peduli Bahasa Bali. Dirinya juga telah menjadi dosen di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas
Dwijendra, Denpasar.

Terkait dengan Bahasa Bali, Citra berpesan pada generasi muda lainnya agar mulai berkarya dan memupuk kecintaan membaca sejak dini, terlebih dalam Bahasa Bali. Tidak masalah baginya ketika seseorang pernah salah dalam menerapkan anggah-ungguhing basa (red: aturan-aturan dalam Bahasa Bali), tetapi yang terpenting adalah kemauan untuk belajar.

“Sangat sulit memang menerapkan Bahasa Bali, terlebih di perkotaan. Namun, ada satu hal yang sering saya tekankan pada murid saya ketika mengajar, bahwa jika Bahasa Bali ini hilang, kebudayaan dan identitas kita juga akan hilang. Lalu untuk perihal menulis, maka terlebih dahulu pupuklah kecintaan untuk membaca karya sastra karena menurut saya mustahil menulis tanpa membaca. Jika sudah mulai cinta, mulailah berkarya. Tidak ada
karya yang sempurna, jadi jangan takut salah,” tutup Citra diselingi tawa kecil. *ph

Komentar