nusabali

MUTIARA WEDA : Penggunaan Hewan dalam Yadnya

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-penggunaan-hewan-dalam-yadnya

Pemakaian hewan adalah wajar untuk upacara yadnya, yang peraturannya dibuat oleh para Dewa, tetapi itu hanya cocok untuk para raksasa.

Yajna jagdhir mamsasyetyasa Daiwo widhih smritah,

Ato nyatna prawittistu raksaso Widhirucyate.
(Manawa Dharmasastra V. 31)


MENURUT teks di atas pemakaian hewan di dalam upacara itu sah karena aturannya dibuat oleh para Dewa. Jika ada yang mempertanyakan mengenai penggunaan hewan di dalam upacara, maka teks ini bisa dijadikan sebagai salah satu rujukan tentang keabsahannya. Artinya, menggunakan hewan itu benar secara teks sepanjang Manawa Dharmasastra sebagai concern. Hanya saja, yang menjadi ganjalan dari teks di atas adalah anak kalimatnya terakhir. Dikatakan bahwa pemakaian hewan ini benar kalau untuk para raksasa. Jelasnya, teks di atas bisa memiliki dua makna: pertama, pemakaian hewan dalam upacara yadnya itu benar jika dilaksanakan oleh para raksasa. Atau, kedua, penggunaan hewan itu benar di dalam upacara yadnya kalau ditujukan kepada para raksasa.

Jika makna pertama diangkat, maka bisa menimbulkan beberapa implikasi. Penggunaan hewan akan benar hanya ketika para raksasa yang melaksanakan yadnya itu. Jika demikian halnya, tentu teks di atas menjadi tidak relevan. Mengapa? Siapakah mereka para raksasa itu? Apakah ada ras yang bernama raksasa di zaman ini? Sepertinya tidak ada ras seperti itu. Kita hanya mendengar atau membacanya dari kisah Purana, Itihasa, dan teks sejenis lainnya. Jika ras itu tidak ada, atau ras itu telah punah, maka teks di atas mestinya tidak relevan lagi. Dewasa ini yang bisa melaksanakan upacara yadnya hanyalah bangsa manusia. Sepanjang pengamatan penulis, di luar manusia tidak ada yang melaksanakan upacara yadnya. Oleh karena bangsa raksasa tidak eksis lagi, maka teks di atas secara otomatis mestinya tidak diberlakukan lagi.

Jika makna kedua diambil, maka berimplikasi pada status. Artinya, tidak hanya para Dewa saja yang dijadikan objek persembahan di dalam upacara yadnya. Ada makhluk berbeda yang sekelas Dewa juga menjadi objek persembahan dari pelaksanaan upacara yadnya, yakni Raksasa. Implikasi kedua ini memposisikan raksasa tidak sebagai penyelenggara yadnya, melainkan objek yang dituju saat upacara yadnya itu digelar. Di sini, antara para Dewa dan para Raksasa menempati posisi yang sejajar dalam hal objek yang dituju oleh upacara tersebut. Dari implikasi ini dapat dikatakan bahwa yang menyelenggarakan upacara yadnya adalah manusia dan hanya bangsa manusia saja pelaksananya yang ditujukan baik kepada para Dewa maupun kepada para Raksasa. Hanya saja, penggunaan hewan hanya boleh dilakukan hanya ketika upacara tersebut ditujukan kepada para Raksasa. Jika upacara ditujukan kepada para Dewa, maka hewan tidak diperkenankan. Walaupun yang membuat aturan tersebut adalah para Dewa, tetap ketika yang menerima upacara Yadnya tersebut a
dalah Dewa, maka tidak benar hewan itu digunakan.

Implikasi dari makna kedua ini memiliki konsekuensi lain. Ada beberapa hal perlu didiskusikan. Seperti, atas dasar apa manusia membuat upacara yadnya yang ditujukan kepada para raksasa? Jika dibandingkan dengan para Dewa, apa peran para Raksasa kepada manusia sehingga diri mereka berhak menerima upacara yadnya tersebut? Sejak kapan Raksasa diperlakukan sejajar dengan para Dewa sehingga sama-sama menjadi objek persembahan upacara yadnya? Apa korelasi antara raksasa dengan penggunaan hewan dalam upacara? Siapa para Raksasa itu yang bisa diberikan persembahan yadnya dengan bahan binatang? Demikian seterusnya ada banyak permasalahan yang harus didiskusikan jika memang implikasi makna ini diangkat.

Jika kita lihat di lapangan, khususnya upacara yang dilaksanakan oleh orang Bali, maka kita bisa menemukan itu secara luas dan beragam. Ada banyak jenis hewan yang digunakan oleh orang Bali di setiap upacara yang dilaksanakannya, terutama pada upacara yang lebih besar. Seperti misalnya upacara Bhuta Yadnya, hampir sebagian besar bahan upacaranya terbuat dari berbagai jenis hewan. Mereka melaksanakan upacara ini dalam rangka somia bhuta kala biar tidak saling mengganggu. Dengan persembahan ini, makhluk yang disebut bhuta kala itu tidak mengganggu aktivitas manusia. Penggambaran dari makhluk bhuta kala itu sangat menyeramkan. Mungkin, jika wajah seram dijadikan indikasi, maka raksasa juga wajahnya dilukiskan seram, sehingga kemungkinan implikasi makna kedua mengacu pada pelaksanaan bhuta yadnya ini. *

I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta

Komentar