nusabali

Ayah Polio, Anak Derita Hidrocepalus

  • www.nusabali.com-ayah-polio-anak-derita-hidrocepalus

Kisah Pilu Pasutri di Lodtunduh, Ubud, Gianyar

GIANYAR, NusaBali

Kisah pilu dialami salah satu keluarga di Banjar Mawang Kaja, Desa Lodtunduh, Kecamatan Ubud, Gianyar. Adalah kepala keluarga I Wayan Subagia,44, menderita polio dan mempunyai anak yang menderita hidrocepalus (kepala membesar). Anak semata wayang hasil pernikahannya dengan Ni Nyoman Suami,42, bernama I Putu Agus Karang Juliantara. Bocah kelahiran 18 Juli 2014 ini mulai kentara menderita hidrocepalus sejak usia 42 hari. Karena harus mengasuh Putu Karang, hanya suami yang bisa bekerja sebagai tukang sapu.

Menurut Nyoman Suami, saat hamil lima bulan, dirinya pernah jatuh. Kemudian pada usia kandungan tujuh bulan mengalami pendarahan, sehingga bayinya harus dilahirkan secara sesar. "Saat lahir, anak saya tampak sehat. Dokter juga gak ada bilang apa-apa," ujarnya. Namun seiring berjalannya waktu, dia pun curiga melihat kepala buah hatinya membesar perlahan. Pasutri ini kemudian konsultasi ke dokter spesialis anak. "Kata dokter, anak saya menderita hidrocepalus, tapi tidak aktif. Saat itu juga disarankan untuk pasang selang di kepala tembus perut," terangnya.

Namun pada saat itu, Putu Karang belum punya jaminan kesehatan. Sedangkan biaya pemasangan selang diperkirakan menghabiskan dana Rp 10,5 juta. Setelah berpikir panjang, pasutri ini berinisiatif daftar BPJS Kesehatan Mandiri. Mereka terdaftar di kelas III. "Sebenarnya lebih cepat dipasang selang lebih bagus. Tapi karena proses kartu itu baru selesai usia anak saya, lima bulan. Baru saat itu dilakukan operasi pasang selang," jelasnya. Hingga kini usianya empat tahun, selang masih tertanam di bawah kulit Putu Karang. "Sekitar 2 - 3 tahun lagi disarankan operasi lagi, perpanjangan selang," jelasnya. Selama ini, Putu harus rutin kontrol ke RSUP Sanglah. Terutama untuk melakukan pemeriksan tumbuh kembangnya. "Baru-baru ini, pemeriksaan THT (telinga-hidung-tenggoprokan) selesai. Sudah tidak ada masalah dengan pendengarannya. Sekarang tinggal mata dan terapi jalan," terang Nyoman Suami. Terapi dilakukan minimal sekali dalam seminggu. Setiap kali terapi, pasutri dari keluarga kurang mampu ini selalu pinjam sepeda motor. Selalu membawa bekal nasi, air panas dan kopi dari rumah. Sering kli, pasutri ini hanya berbekal uang Rp 15.000 untuk mengantar anaknya kontrol. "Segitu saja sudah cukup, karena kami bawa bekal makanan dari rumah.

Disana sama sekali ndak belanja," jelasnya. Saking terhimpitnya perekonomian keluarga ini, pengobatan Putu Karang pernah berhenti selama 6 bulan. "Pernah karena ndak punya uang, kita gak ajak Putu ke Sanglah," ungkapnya. Pasutri inipun kena marah dari dokter, sebab Putu Karang harus konsisten melakukan pengobatan dan terapi. "Selang ini harus rutin dicek. Takutnya ada infeksi atau tersumbat. Dia juga nggak boleh jatuh, nangis tidak boleh terlalu kencang takutnya step dan kejang," terangnya. Setelah dinasehati, pasutri inipun harus taat mengobati buah hati yang kini berat badannya mencapai 19 kg.

Terkait bantuan pemerintah, Nyoman Suami mengaku tak pernah merasakan. Jaminan kesehatan pun dia bayar secara mandiri sebesar Rp 102.000 untuk 4 anggota keluarga termasuk bibinya yang sudah renta. "Rastra tiap bulan dapat, Putu juga dapat KIS hanya saja namanya ada salah. Jadi tetap pakai BPJS mandiri," ujarnya. *nvi

Komentar