nusabali

Perempuan di Banjar Tegal Jago Buat Ukiran Kayu

  • www.nusabali.com-perempuan-di-banjar-tegal-jago-buat-ukiran-kayu

Dari 12 banjar adat yang ada di Desa Kukuh, Kecamatan Marga, Tabanan seluruhnya ada industri seni ukir. 

TABANAN, NusaBali
Kerajinan ukir tak hanya ditemukan di pinggir jalan, tetapi ada juga di rumah tangga. Banjar Dinas Tegal dan Banjar Dinas Denuma yang mayoritas penduduknya menggeluti seni ukir di rumah tangga. Para pekerjanya tak hanya laki-laki, namun juga perempuan. Baik yang masih remaja putri hingga ibu rumah tangga.  

Jika berkunjung ke salah satu rumah penduduk di Banjar Tegal maupun Denuma, maka pendengaran kita disambut suara yang dihasilkan dari pengotok (palu), pahat, dan kayu para pengrajin ukiran. Baik yang laki maupun perempuan bekerja dalam satu tempat. Mereka khusuk menyelesaikan pesanan. Khusus pengrajin perempuan dominan membuat ringring. “Untuk isi waktu sambil ngempu (mengasuh anak),” ungkap Yuni Andriani, 22, Minggu (27/3). 

Yuni Andriani bukan warga asli Banjar Tegal, ia berasal dari Manado, Sulawesi Utara. Yuni mengaku bisa mengikuti tradisi di tempatnya berumah tangga yang mayoritas pekerja sebagai pengrajin. Ia belajar dengan praktek langsung dibimbing suami. Jika kaum lelaki biasa buat patung, kincut, saka (tiang) hingga hiasan dinding berukir, kaum perempuan lebih dominant membuat ukiran sederhana pada ringring. 

Yuni bersyukur dengan ketrampilannya karena dapat menyokong perekonomian keluarga. “Ini pekerjaan tidak terikat, bisa sambil jaga anak dan ngayah ketika ada upacara agama,” ungkapnya. Yuni saat ini baru mahir membuat ringring. Ada tiga motif ukiran ringring yakni bunga, kapu-kapu, dan cakra. Upah pekerjaan membuat ukiran motof bunga dan kapu-kapu sebesar Rp 15 ribu per buah untuk ukuran 4 meter. Sedangkan motif cakra seharga Rp 27 ribu per buah dengan ukuran 4 meter. 

Kelian Dinas Banjar Tegal, I Nyoman Darmayasa mengatakan di Banjar Tegal ada 266 kepala keluarga. Sebanyak 65 persen perempuan di banjarnya menjadi tukang ukir. Sisanya sebagai pengrajin gedek (anyaman bambu). Dokok, sapaan akrab Darmayasa menambahkan, pekerjaan menjadi tukang ukir banyak digeluti karena pekerjaannya tak mengikat. Ketika ada ngayah adat maupun kegiatan upacara di pura, pekerjaan bisa ditinggalkan. 

Dokok menambahkan, tak hanya dari kalangan pemuda hingga orangtua, namun anak-anak sekolah dasar (SD) pun jago memainkan pahat. Dia menegaskan, bocah-bocah SD ini baik yang laki maupun perempuan tak ada dipaksa oleh orangtunya untuk ikut ngukir kayu. Namun keinginan anak-anak begitu kuat untuk belajar. “Anak-anak SD di kampung kami juga sudah bisa mencari uang,” ungkap Dokok. Ditegaskan, anak-anak itu tak ada paksaan untuk berlatih ketrampilan ngukir. 7 cr61

Komentar