nusabali

2.000 Perusahaan Asing Ngemplang Pajak 10 Tahun

  • www.nusabali.com-2000-perusahaan-asing-ngemplang-pajak-10-tahun

“Selalu mengklaim dirinya rugi. Padahal menurut perhitungan atau pemeriksaan pajak, harusnya perusahaan tersebut membayar rata-rata Rp 25 miliar setahun," (Kementerian Keuangan).

JAKARTA, NusaBali
Kementerian Keuangan, mencatat ada sekitar 2.000 perusahaan berkategori Penanaman Modal Asing (PMA), yang tidak membayar pajak dalam 10 tahun terakhir. Perusahaan tersebut terbagi pada banyak sektor.

"Kami juga melaporkan ada hampir 2.000 PMA di Indonesia yang selama 10 tahun tidak membayar pajak," kata Bambang Bambang Brodjonegoro,, usai rapat kabinet terbatas di Istana Negara, Jakarta, Senin (21/3).

Alasan yang selalu disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) adalah perusahaan tersebut rugi. Akan tetapi kenyataannya berbeda dengan hasil perhitungan dan pemeriksaan DJP. "Selalu mengklaim dirinya rugi. Padahal menurut perhitungan atau pemeriksaan pajak, harusnya perusahaan tersebut membayar rata-rata Rp 25 miliar setahun,"  ujarnya.

Menurut Bambang, hal tersebut merupakan bagian dari penggelapan pajak. Pemerintah memastikan akan segera melakukan penindakan tegas terhadap para pihak tersebut. "Ini juga bagian dari penggelapan pajak yang harus dibereskan," tegas Bambang.

Jumlah ini pun sejatinya sudah banyak berkurang dari tahun ke tahun. Tahun 2015 lalu, dalam catatan Kementerian Keuangan sebanyak 4.000 investor asing yang melakukan penanaman Modal Asing (PMA) di Indonesia, belum membayar pajak.

Tak tanggung - tanggung tunggakan mereka pun besar dan dalam jangka waktu yang lama. Ada yang tidak bayar selama 25 tahun, ada yang 10 tahun. Bambang menambahkan, cara mereka mengakali agar tak membayar pajak pun bemacam-macam. Namun yang paling sering terjadi adalah mereka melakukan transfer pricing dan modus pinjaman dari pemilik modal atau pemilik perusahaan.

Untuk transfer Pricing, perusaahan penunggak pajak ini akan mentransfer keuntungan mereka ke negara yang menerapkan besar pajak lebih kecil dari negara tempat perusahaan tersebut berada. Dan biasanya di negara yang menetapkan pajak kecil itulah merek menempatkan perusahaan induknya. 

Sedangkan untuk modus yang kedua, para pemilik modal yang tidak berada di Indonesia misalnya, seharusnya secara teratur menyetor modal untuk perusahaannya di Tanah Air, kata Bambang. Namun dalam praktiknya, mereka tidak menyuntikkan modal, tapi memberikan pinjaman yang sebetulnya adalah dividen.

Pinjaman inilah yang dihitung sebagai utang, ada interest, sehingga mengurangi laba. Tidak ada profit terus, lama-lama perusahaan menyatakan rugi. Padahal sebenarnya tidak.
Karena itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta tidak ada lagi penggunaan data manual pada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC). Tujuannya untuk menghindari terjadinya kasus penggelapan. Sekretaris Kabinet, Pramono Anung, saat menyampaikan itu usai hasil rapat kabinet terbatas yang dipimpin oleh Presiden Jokowi, di Istana Negara, Jakarta, kemarin.

"Presiden menginstruksikan kepada Menkeu dan jajaran Ditjen Pajak dan DJBC untuk segera memperbaiki IT yang ada dan terintegrasi. Sehingga dengan demikian tidak ada lagi data-data yang bersifat manual dan berbeda-beda," kata Pramono.

Penggunaan sistem manual, kata Pramono, mampu memberikan celah untuk masyarakat melakukan penggelapan, seperti penerbitan faktur pajak palsu, pelaporan neraca keuangan palsu, transaksi ekspor fiktif, dan sebagainya.

Padahal pembayaran pajak merupakan salah satu bentuk kewajiban sebagai warga negara. Pemerintah optimistis, hal tersebut dapat mendorong kepatuhan dan meningkatkan rasio pembayar pajak (tax ratio) di dalam negeri.

"Karena dalam sistem IT yang terintegrasi ini, kami meyakini pasti akan meningkatkan tax ratio. Karena tax ratio kita masih sekitar 11%, dan Bapak Presiden menginginkan dalam waktu ke depan tax ratio bisa ditingkatkan di atas 12-13% bahkan sampai 15%," paparnya. 7

Komentar