nusabali

Melambung Terus, Daging Ayam Tembus Rp 42 Ribu

  • www.nusabali.com-melambung-terus-daging-ayam-tembus-rp-42-ribu

Omset penjualan para pedagang daging ayam di Denpasar menurun drastis. Pemicunya harga daging ayam (broiler) yang terus meningkat.

DENPASAR, NusaBali

Terakhir, Kamis (12/7) harga daging  di pasaran tembus angka Rp 42.000 per kilogram. Pedagang daging ayam kelimpungan, karena omset penjualan mereka turun rata-rata 50 persen. Harga ayam memang melesat sejak sebelum bulan Ramadhan. Namun di pekan ketiga bulan puasa itu,  sempat mengalami penurunan ke harga normal di kisaran Rp 32.000 hingga Rp 34.000 per kilogram. Hanya saja sejak sepekan sebelum Idul Fitri harga kembali meroket. Dua pecan lalu sudah berada di kisaran Rp 37.000 – Rp 38.000. Dan sejak pekan ini sudah ‘stabil’ di kisaran Rp 40.000 hingga Rp 42.000.

Akibatnya tidak hanya mengalami penurunan omset, pedagang daging ayam mengaku jadi sasaran komplain konsumen, karena kenaikan harga daging ayam. “Pembeli mengeluh karena harga (daging ayam) terus naik,” ujar Mangku Ketut Koriani, seorang pedagang daging ayam di Pasar Kreneng.

Konsumen tersebut, di antara para pedagang makanan yang menggunakan daging ayam sebagai lauk. “Harga daging naik, harga cabe naik, sedang harga nasi tidak bisa naik,” lanjut Mangku Koriani, menirukan keluhan konsumen. “Nggih memang demikian, naik terus,” timpal Ni Nyoman Sukariasih, pedagang daging ayam di sebelah Mangku Koriani.

Kondisi tak jauh beda dialami, pedagang ayam di Pasar Badung (sementara) di Jalan Cokroaminoto di kawasan Balun Kelurahan Pemecutan Kaja. Kotimah, salah seorang pedagang ayam di pasar setempat, juga menuturkan pembeli mengeluh karena terus merangkak naiknya harga daging ayam. “Apa yang dirasakan pedagang di pasar lain, juga kami alami di sini (di Pasar Badung ),” ujar Kotimah.

Pedagang mengaku bisa memaklumi keluhan pembeli, karena kenaikan harga daging ayam itu. Namun pedagang mengaku tak bisa berbuat lebih jauh. Alasannya, pedagang juga membeli daging dengan harga yang juga tidak murah. Menurut pengakuan pedagang, pada Kamis kemarin mereka membeli dengan harga Rp 40.000 per kilo. Karenanya mereka mau tidak mau ‘ terpaksa’ menjual  Rp 42.000 per kilogram.  Logikanya untung Rp 2000. Namun keuntungan itu  diyakini  berkurang, akibat  penyusutan daging ketika memotong-motong saat mengecer. “Kan ndak pas sekali motongnya saat ngecer, sehingga pasti berat daging berkurang,” tambah pedagang lainnya.

Pedagang berharap kondisi berharap kondisi ‘perayaman’ normal. Karena dengan harga daging yang melambung, pedagang justru menyusut keuntungannya, karena penjualan merosot drastis. “Jika harga normal, tiyang (saya) mampu jual 50 kilogram sehari. Sekarang hanya dapat jualan 25 kilogram sehari,” ungkap Mangku Koriani. Demikian juga dialami Kotimah. Sebelum harga ayam melambung, Kotimah mengaku dapat menjual daging 100 kilogram lewat tengah hari. “Sehingga saya telepon lagi agar dibawakan lagi daging,” ujar Kotimah.

Namun menyusul kenaikan harga daging ayam sejak beberapa hari belakangan, penjualannya terus menyusut. Seperti Kamis kemarin, Kotimah hanya dapat menjual 60 kilogram daging hingga sekitar pukul 15.00 Wita. “Pembeli berkurang drastis,” kata Kotimah.

Dinas Peternakan Provinsi Bali, tidak menampik kondisi ‘bisnis’ perayaman yang ditandai dengan kenaikan harga daging.  Namun ‘ketidaknormalan’ tersebut diperkirakan tidak akan berlangsung lama. “Agustus depan kira-kira akan kembali normal,” ujar Kabid Produksi dan Kesehatan Hewan Veteriner Disnak Provinsi Bali Ni Made Sukerni.

Dikatakan hal itu terjadi akibat pengaruh libur hari raya, di antaranya Galungan dan Idul Fitri. Peternak mengurangi populasi, dengan alasan tenaga kerja yang mengurus kandang, banyak libur dan sebagian mudik. Terkait kemungkinan lonjakan harga ayam, juga karena akibat kenaikan harga pakan, Sukerni mengaku belum tahu soal itu. “ Kami belum mendengar soal itu,” ujarnya.

Sementara kebutuhan ayam di Bali antara 6-7 juta ekor dengan berat berkisar antara 1,7 kilogram – 1,8 kilogram per bulan. Sedang produksi rata-rata di Bali, sekitar 5 juta ekor lebih. Menurut Kabid Produksi dan Kesehatan Hewan Veteriner Ni Made Sukerni, kekurangannya itulah yang biasanya didatangkan dari luar, dari Jawa. Terkait antisipasi kekurangan stok ayam saat ini, Sukerni menyatakan Pemerintah tidak pernah melarang masuknya ayam dari luar daerah. “Silakan kita, tidak pernah menyetop,” ujar Sukerni.

Sementara itu dari kalangan peternak mengakui bahwa kenaikan harga daging ayam dipengaruhi beberapa faktor, di antaranya termasuk kenaikan dollar terhadap rupiah, yang berimbas kenaikan harga pakan ternak. Menurut kalangan peternak, kenaikan berkisar Rp 300 per kilogram atau sekitar Rp 15.000 per zak pakan. Hal ini tentu berpengaruh terhadap biaya operasional secara keseluruhan.

Faktor lain kenaikan harga lainnya adalah  penurunan stok DOC (day old chicken). Faktor DOC misalnya, secara nasional memang diturunkan, untuk menjaga stabilitas harga. “Dulu kan pernah secara nasional produk DOC sampai 65 juta per minggu (tingkat nasional). Sedangkan kebutuhan 55 juta saja,” ujar Yahya Pinsar, salah seorang peternak yang juga koordinator peternak ayam Bali.   Kemudian faktor cuaca dingin, menyebabkan angka kematian ayam cukup tinggi, hingga 10 persen, juga mengurangi populasi. Selain itu, manajemen kandang  yang kurang bagus juga berimbas pada produksi.

Namun kenaikan ayam tak terlalu dinkmati peternak. Hitung-hitungannya, dengan perkiraan HPP (harga pokok produksi)  sekarang antara Rp 19.000 – Rp 20.000 per ekor, harga jual hidup atau di kandang sekitar Rp 23.000 per kilogram. Artinya keuntungan Rp 3.000 per kilogram. “Itu kami kira cukup realitis,” ujar I Wayan Windra, seorang peternak dari Desa Demulih Susut Bangli.

Istilahnya, lanjut Windra, adalah ongkos sebagai peternak, termasuk untuk ongkos buruh. Persoalannya rantai bisnis ayam, tidak hanya  di peternak saja, namun ada vendor, pemotong  hingga penjual di pasar. *k17

Komentar