nusabali

Simbol Spirit Pluralisme dan Emansipasi Wanita

  • www.nusabali.com-simbol-spirit-pluralisme-dan-emansipasi-wanita

Pentas teater ‘Kisah Cinta Nyoman Rai Srimben: Spirit Ibu Bangsa’, kali ini mengambil sudut pandang berbeda. Yakni Nyoman Rai Srimben sebagai tokoh utama, penggerak alur utama.

Kisah Rai Srimben, Ibunda Soekarno Dipentaskan di PKB

DENPASAR, NusaBali
Kisah cinta orangtua Sang Proklamator Kemerdekaan RI Ir Soekarno, Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Nyoman Rai Srimben memang selalu menarik untuk diulas. Selain mengingatkan kembali tentang pluralisme berbangsa dan bernegara, pementasan berjudul ‘Kisah Cinta Nyoman Rai Srimben: Spirit Ibu Bangsa’ di Wantilan Taman Budaya-Art Center, Denpasar, Selasa (11/7) malam, juga mengajarkan emansipasi wanita.

Meski pentas teater modern bukan pertunjukan utama di ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-40 tahun 2018, namun kisah cinta yang dihadirkan oleh Komunitas Mahima Singaraja dan Sanggar Teater Baleagung Singaraja mampu menggugah keinginan penonton untuk datang memenuhi Wantilan Art Center Denpasar. Drama modern selalu memiliki penggemar tersendiri. Kendati naskah lakonnya sama, namun menurut sang sutradara, Kadek Sonia Piscayanti, pementasannya tidak selalu sama.

Sonia mengungkapkan, lakon ini pernah dipentaskan di Perpustakaan Nasional di Blitar pada Juni tahun 2016, di Panggung Terbuka Ardha Candra-Art Center Denpasar, September 2016, di Wantilan Art Center Denpasar pada 28 April 2018, dan di Gedung Mr Ketut Pudja eks Pelabuhan Buleleng, 20 Mei 2018. Kini, lakon kisah cinta orangtua Soekarno itu dipentaskan lagi di ajang PKB ke-40.

“Tidak ada pementasan yang benar-benar sama. Kami sudah berproses lama dengan naskah ini, dan terus berkembang, mencari sudut pandang yang belum diketahui. Mulai dari yang pertama berdurasi 30 menit, 45 menit, dan ini versi yang terpanjang selama satu jam. Selalu ada yang ditambahkan,” ujar Sonia saat ditemui usai pentas, Selasa malam lalu.

Menurut sastrawan penulis buku ‘Perempuan Tanpa Nama’ ini, pentas teater ‘Kisah Cinta Nyoman Rai Srimben: Spirit Ibu Bangsa’, Selasa malam lalu mengambil sudut pandang berbeda. Kali ini, sudut pandang yang diambil adalah Nyoman Rai Srimben sebagai tokoh utama, penggerak alur utama. Masa kecilnya yang tidak diketahui banyak orang, tapi perlu untuk diketahui saat ini. “Kali ini kami menceritakan mulai dari masa kecilnya. Bagaimana sesungguhnya dia memiliki duka ketika ditinggalkan oleh orangtuanya. Beliau (Rai Srimben, red) itu tahan banting dari kecil. Karena itu, saya ingin menggambarkan Rai Srimben sebagai tokoh yang memang dari kecil sudah memiliki kekuatan wanita tangguh,” katanya.

Lakon ‘Kisah Cinta Nyoman Rai Srimben: Spirit Ibu Bangsa’ menceritakan kehidupan Rai Srimben, seorang wanita asal Lingkungan Bale Agung, Kelurahan Paket Agung, Singaraja, yang sejak kecil menjalani kehidupan dengan keluarga sederhana. Rai Srimben hidup bersama pengasuhnya Bibi Ketut Nesa, pekak (kakek) yang baik Jro Mangku Lingsir, dan sepupunya Latri. Ada juga Kapuk, yang menemaninya berlatih menari dan menenun. Hingga remaja mereka tumbuh bersama.

Singkat cerita, Raden Soekemi Sosrodihardjo datang dari Jawa. Raden Soekemi datang menjadi guru muda yang ditugaskan mengajar di Sekolah Rakyat Nomor 1 Singaraja di Banjar Paketan. Dengan sahabatnya Kaler, ia diperkenalkan ke adat budaya Bali melalui kegiatan kebudayaan di Banjar Baleagung. Saat Piodalan Agung di Pura Desa Buleleng, Nyoman Rai Srimben bersama sepupu-sepupunya menari pendet. Raden Soekemi yang menyaksikan tarian tersebut lalu jatuh hati pada salah satu penari, Nyoman Rai Srimben. Begitu pun Rai Srimben jatuh hati kepada Raden Soekemi.

Namun perjalanan cinta mereka tidak mudah. Raden Soekemi, seorang Jawa beragama Islam sedangkan Rai Srimben seorang wanita Bali beragama Hindu. Niat mereka untuk melangsungkan perkawinan beda suku, beda budaya, dan beda agama ditentang keluarga. Akhirnya mereka memilih untuk kawin lari. Keberanian Rai Srimben memilih kawin lari bersama Raden Sukemi pada zaman itu, menjadi inspirasi bagi Sonia untuk menampilkan garapan ini. “Pada zaman itu, mereka mengalami tekanan untuk melakukan pernikahan beda budaya maupun beda agama. Namun Nyoman Rai Srimben memiliki spirit yang sangat tinggi untuk bisa mengalahkan semua kegalauan hatinya. Itu menandakan dia adalah seorang yang memiliki visi yang kuat sebagai perempuan Bali di masa itu,” ungkapnya.

Pernikahan beda suku, beda budaya, dan beda agama yang dilakukan keduanya sekaligus menjadi contoh semangat pluralisme di negara Indonesia yang terdiri dari ratusan suku, agama, adat, budaya, dan perbedaan lainnya. Kisah cinta ini sekaligus untuk menyadarkan kembali rasa nasionalisme yang belakangan semakin luntur. “Belakangan ini rasa nasionalisme kita sudah semakin luntur, dan teater adalah salah satu cara untuk membangkitkan lagi rasa nasionalisme itu. Seperti yang kita tahu Soekarno lahir dari darah Jawa dan Bali. Dalam diri Soekarno sudah tertanam nilai dan jiwa plurarisme. Semangat ini yang kami kaitkan dengan tema api PKB tahun ini,” imbuhnya.

Lakon ini melibatkan 60-an pemain dan penabuh. Yang dilibatkan adalah keluarga besar Nyoman Rai Srimben dalam satu Lingkungan Bale Agung, mulai dari umur 4 tahun hingga 75 tahun. Penampilan pun ditutup dengan Soekarno memohon restu kepada Rai Srimben, dan membacakan Proklamasi Kemerdekaan. Terakhir, semua pemain menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan khidmat.

Sayangnya, penampilan di Wantilan Art Center itu menjadi nampak kurang sempurna. Sebab, kondisi wantilan yang menimbulkan suara menggaung, sehingga dialog tidak terdengar jelas. Sonia pun berharap, pentas teater selanjutnya diberikan tempat yang lebih representatif dan mendukung. “Memang akustiknya tidak bagus, jadi bergaung sekali. Kita sudah menyiasati dengan berbagai hal tetapi tetap tidak bisa. Saran kami, teater mungkin sebaiknya tidak di Wantilan. Bisa di Gedung Ksirarnawa,” ujarnya. *ind.

Komentar