nusabali

Wabup Karangasem Sandang Lulusan Terbaik Sekaligus Tertua

  • www.nusabali.com-wabup-karangasem-sandang-lulusan-terbaik-sekaligus-tertua

Wakil Bupati Karangasem I Wayan Artha Dipa SH MH menjadi lulusan terbaik program Doktor (S3) saat Wisuda Sarjana ke-53, Magister ke-25, dan Doktor ke-13 Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Denpasar di Inna The Grand Bali Beach Hotel, Sanur, Denpasar Selatan, Kamis (24/5).

DENPASAR, NusaBali
Selain sandang lulsuan terbaik, Wayan Artha Dipa juga menjadi wisudawan tertua program S3, di mana dia raih gelar Doktor dalam usia 61 tahun 5 bulan.

Wayan Artha Dipa berhak meraih gelar Doktor Bidang Ilmu Agama dan Kebudayaan, setelah berhasil mempertahankan desertasinya berjudul ‘Kontroversi Perkawinan Pada Gelahang pada Masyarakat Bali Hindu di Kabupaten Karangasem’. Promosi Doktor dijalaninya di Aula Unhi Denpasar, Rabu, 11 April 2018 lalu. Pejabat asal Banjar Pakel, Desa Sangkan Gunung, Sidemen, Karangasem kelahiran 31 Desember 1956 ini sukses meraih predikat cumlaude dengan IPK 3,78.

Setelah dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude saat promosi Doktor, Artha Dipa juga dinobatkan sebagai lulusan terbaik di antara 7 wisudawan Doktor yang diwisuda di Sanur, Kamis kemarin. Artha Dipa mengaku bersyukur dengan apa yang diperolehnya di usia 62 tahun.

Menurut Artha Dipa, usia bukanlah batasan untuk belajar. Pria yang sudah berkecimpung di dunia birokrasi selama 33 tahun lebih ini juga memiliki tujuan lain, di samping memperkaya dirinya dengan pendidikan. Dia ingin memotivasi teman-teman di Pemkab Karangasem dan para generasi muda untuk mengikuti jejaknya mengejar pendidikan lebih tinggi lagi.

“Saya merasa bangga bisa menyelesaikan studi ini atas bantuan semua pihak. Mudah-mudahan, dengan selesainya studi saya ini, bisa menjadi motivasi bagi teman-teman, baik sahabat, anak-anak muda, termasuk teman-teman di Pemkab Karangasem. Karena bagaimana pun, pendidikan memegang peranan penting. Belajar itu tidak mengenal usia,” ujar Artha Dipa kepada NusaBali seusai acara wisuda di Sanur, Kamis kemarin.

Artha Dipa termasuk cepat menyelesaikan studi S3 Unhi, meski di tengah kesibukan yang sangat padat selaku pejabat. Putra dari pasangan almarhum I Nengah Lusin dan Ni Ketut Bered ini mengatakan, dirinya ambil kuliah program Doktor sejak tahun 2013. Namun, dia sempat jeda tahun 2015 karena kesibukan kampanye Pilkada Karangasem 2015. Desertasinya baru dikerjakan tahun 2016.

Menurut Artha Dipa, jika mau membagi waktu, tidak ada istilah karya ilmiah atau tugas akhir yang terbengkalai. Semua tergantung dari niat. “Kalau kita mau, tidak ada alasan untuk tidak bisa membagi waktu. Sistem saya menyelesaikan penelitian, setiap harinya rutin menulis satu hari selembar. Rutin membaca dan menulis,” cerita Wakil Bupati yang sempat lama menjabat sebagai Ketua Majelis Madya Desa Pakraman (MMDP) Kabupaten Karangasem ini.

Kebetulan, penelitian yang diangkatnya berkaitan dengan sistem perkawinan. Hal ini tidak begitu sulit bagi Artha Dipa, karena sudah biasa diamati setiap harinya dalam proses kehidupan adat di Karangasem. Artha Dipa pernah selama 15 tahun menjadi Bendesa Madya (Keua MMDP) Kabupaten Karangasem. Selain itu, dia menjadi Kertha Desa sejak tahun 1982.

“Tidak terlalu sulit karena sudah diamati setiap harinya, didukung dengan literature yang cukup banyak tentang perkawinan. Jadi, urusan perkawinan sudah biasa bagi saya, tinggal bagaimana memformulasikan persoalan-persoalan di masyarakat, sehingga bisa dimanfaatkan juga oleh masyarakat,” tandas suami dari Ni Nengah Sarini MSi ini.

Melalui penelitiannya, Artha Dipa berharap bisa berkontribusi kepada masyarakat atas solusi-solusi yang terjadi, khususnya sistem perkawinan. Dia pun berharap hasil penelitian bisa menjadi pegangan masyarakat, terutama yang berkaitan dengan perkawinan.

“Bila sistem perkawinan tidak jelas dan tidak ada hasil penelitian yang bisa dipegang, mungkin saja ada hal-hal yang tak diinginkan dalam sistem perkawinan itu. Saya berharap penelitian ini bisa bermanfaat dan bisa dijadikan pegangan beraktivitas terutama kaitannya dengan perkawinan di masyarakat,” katanya.

Artha Dipa menyebutkan, sistem perkawinan ‘Pada Gelahang’ di Kabupaten Karangasem masih menjadi kontroversi. Sebab, sistem perkawinan ini dianggap masih tabu, karena ketika menikah, pasangan suami istri ini menjadi krama adat di dua banjar berbeda, yakni di banjar pihak laki-laki dan banjar pihak perempuan. Sebagian besar masyarakat Karangasem masih menolak sistem perkawinan ‘Pada Gelahang’ yang menimbulkan disintegrasi di masyarakat.

“Kalau Karangasem memang mau menerima sistem ini, mungkin dari zaman Belanda sudah banyak pakai sistem perkawinan Pada Gelahang. Tapi, dari zaman Belanda sampai sekarang, baru dua pasangan yang melaksanakan perkawinan sistem ini. Itu pun, yang satu sudah kembali normal, mepamit dari rumah bajangnya,” katanya. *ind

Komentar