nusabali

Kecerdasan Interpersonal dan Eksistensial

  • www.nusabali.com-kecerdasan-interpersonal-dan-eksistensial

Howard Gardner (1980), profesor Universitas Harvard, dalam bukunya Frame of the Mind menduga ada tujuh jenis kecerdasan pada manusia.

Dalam perkembangan, dia menambahkan tiga jenis kecerdasan lain sehingga genap menjadi 10. Dalam konteks pluralism suku, ras, dan agama, kecerdasan interpersonal yang paling diperlukan. Kecerdasan interpersonal merupakan kemampuan memahami orang lain yang berbeda. Memahami merupakan kecerdasan mengopi (copying) ide, objek atau lainnya tanpa pembedaan. Artinya, sebuah ide dipersepsi dan dikonsepsi hampir serupa dan setara.

Kecerdasan mengopi yang tak-sama menjadi serupa memerlukan pengertian, toleransi, kesepahaman, ketulusan, persatuan, keadilan, dan lainnya. Tanpa itu semua, maka yang berbeda atau tak-sama akan semakin terpecah dan terpisah. Keutuhan atau kohesivitas menjadi terganggu, termarginalkan, dan bahkan termusnahkan. Inilah potret masa depan Bali. Potret adalah gambar objektif, bukan sebuah rekayasa, atau fotogenit.  

Gambar asli dan jujur Bali mengharuskan ia memiliki seorang pemimpin, bukan gubernur atau bupati yang dipilih secara demokratis. Atau, seorang yang visioner atau negarawan sekalipun. Tetapi, sosok yang diimpikan adalah seorang yang cerdas mengenal dan memahami dirinya. Kecerdasan demikian tergolong kecerdasan eksistensial. Apabila kecerdasan eksistensial dikombinasi dengan Triarchic Theory gagasan Profesor Robert Sternberg dari Universitas Yale, maka gemah rimpah loh jinawi, kertha raharja Bali.

Apa itu Triarchic Theory atau Teori Segitiga? Pada intinya, kecerdasan ini terdiri atas tiga unsur sama luas dan sama makna, yaitu, kemampuan mencipta, menemukan, dan merancang. Ketiganya merupakan kecerdasan kreatif untuk menggunakan dan menetapkan yang baik dan benar untuk Bali. Hal yang baik untuk Bali adalah yang sesuai dengan asalinya, bukan tiruan atau tipuannya. Sedangkan yang benar untuk Bali adalah sesuai dengan konteks eksistensi dan kemampuan, bukan peluang bisnis atau sponsornya.

Memang Bali mendambakan kemajuan, dan sangat mudah dimengerti kemajuan harus lewat perubahan. Tetapi, perubahan yang mengubah tatanan asali harus diwaspadai efek negatifnya. Walau perubahan kecil, seperti kepakan sayap kupu-kupu, sering dapat mendatangkan bencana, analog dengan butterfly effect, Lebih-lebih efek itu akan semakin terasa besar dan memberatkan saat ada turbulensi.

Turbulensi internal akan semakin besar ketika ditingkahi atau direcoki oleh turbulensi eksternal. Afiliasi terhadap salah satu partai jangan sampai membenturkan sesama krama Bali. Perbedaan hanya cara pandang, bukan tujuan. Memilih si A atau B bukan C atau D hanyalah sebuah pilihan, alat atau medium untuk mencapai tujuan. Tujuan yang harus direngkuh oleh  krama Bali adalah kedirian, kemandirian, kesejahteraan, dan kedamaian atau shantih.

Untuk meraih itu semua tidak ada yang gratis. Joseph E Stiglitz, Ketua Dewan Penasihat Ekonomi Presiden Bill Clinton, mengingatkan bahwa ‘there is no free meal’, tidak ada makanan gratis. Oleh karena itu, Bali beserta entitasnya harus selalu waspada terhadap setiap janji, tawaran, analisis, spekulasi, dan sejenisnya. Kenapa demikian? Sederhananya, ‘be by gone that’s by gone, that’s by gone could not be repeated but it is nice to look back upon’, petuah Shakespeare. ‘Yang telah hilang tidak mungkin dikembalikan, walau indah untuk dikenang’, janganlah sampai terjadi seperti itu pada Bali.

Oleh pertimbangan kecerdasan tersebut, maka Bali perlu memikirkan dan menentukan pilihan dengan baik dan tepat. Pilihan bukan sebatas memilih pemimpin, tetapi strategi dalam membangun diri, hari ini, dan esok yang dekat serta jauh. Konteks kepentingan eksternal harus diakomodasi dengan kebutuhan internal, kepentingan bisnis harus diasimilasi dengan keluhuran budaya, sehingga ekuilibrasi sosial dan budaya terwujudkan dengan damai. Semoga. *

Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya

Komentar