nusabali

Mental Pembelajaran

  • www.nusabali.com-mental-pembelajaran

Secara behavioristik, pembelajaran merupakan pengubahan diri ke arah yang semakin  baik, maju, atau mampu.

Sikap dan motivasi untuk mengubah diri akan membentuk mental pembelajaran. Mental pembelajaran seharusnya dimiliki, tak terkecuali tua atau muda, laki atau perempuan, rakyat atau pemimpin.Pada usia dini, anak-anak harus dibiasakan membangun mental pembelajaran. Orangtua harus menjadi contoh tentang membangun kesadaran diri. Sejak usia dini, anak diperkenalkan Siapa dia? Apa dia? Atau bagaimana dia? Siapa dia akan melahirkan pikiran kritis tentang potensi, kondisi, atau situasi diri. Apa dia akan membentuk pemahaman tentang kualitas rasional dan emosional. Sedangkan, bagaimana dia memberi arah ke mana dia harus melangkah dengan cara apa. Singkatnya, sejak usia dini anak mengkonstruksi makna secara kreatif, kritis, dan produktif. Anak tidak lagi dipandang sebagai tabularasa, kertas putih yang bebas ditulisi atau digambar.  

Secara empiris anak yang mengkonstruksi diri sejak dini berkembang menjadi pribadi menyenangkan, kreatif, efektif, produktif, dan inovatif. Sebaliknya, anak-anak yang dibelajarkan secara kondisioning cenderung kaku, lamban, pemalu, kurang kreatif dalam berbagai situasi pembelajaran. Pada zaman now, sumber pembelajaran amat bervariasi. Lemah dan kuat pengaruh sumber pembelajaran sulit dipastikan. Kenapa demikian? Ada kemungkinan ini dikarenakan kompleksitas ruang, tempo, dan patrum, yang tidak selalu menjamin linearitas apalagi akurasi. Tidak selalu terbukti, misalnya, mendung tidak selalu disertai hujan, di mana ada gula pasti ada semut, rajin pangkal pandai, dan sebagainya.

Di rumah, anak usia dini, remaja, dan dewasa dihadapkan pada berbagai tantangan dan godaan. Anak usia dini mulai terbius dengan ponsel. Remaja mulai bimbang terhadap identitasnya, apa mengikuti zaman atau teman, mencoba rokok atau bahkan obat, atau pacaran dengan  kehidupan bebas? Dewasa juga tidak kurang tantangan, menikah walau belum mandiri, menganggur tidak menghasilkan, atau apatis tidak merespons situasi dan kondisi? Orangtua tidak lagi dapat mengandalkan cara-cara konvensional. Mereka harus memiliki kemampuan berinteraksi secara interpersonal, personal, atau bahkan transaksional.

Bagaimana dengan calon pemimpin Bali ke depan? Mental pembelajaran bagaimana yang harus dimiliki, agar dia berhasil membawa Bali semakin maju, damai, dan sejahtera? Dalam hal ini, ada baiknya mengutip model Peter Senge (1993), yaitu kemampuan mengamati, mengkaji, merancang, dan mengimplementasikan. Dengan ke-empat kemampuan tersebut calon pemimpin Bali diharapkan mampu mengonstruksi, bila perlu merekonstruksi atau bahkan mendekonstruksi, hal-hal yang baik dan menghalang kemajuan, kedamaian, dan kesejahteraan krama Bali. Dalam bertindak seperti itu, calon pemimpin harus selalu mengindahkan dan menghormati sendi-sendi kearifan lokal, nilai, norma, dan moral kebudayaan asali. Kemajuan, kedamaian, dan kesejahteraan harus berketuhanan, berperikemanusiaan, berdasarkan persatuan, mufakat musyawarah, dan berkeadilan sosial.

Kemampuan ‘mengamati’ akan memberi pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam menilai apa yang ada pada diri kita? Observasi terhadap kekurangan dan kelebihan akan memberi pembelajaran bagaimana seharusnya kita melakukan perubahan. Tanpa kemampuan demikian, seorang pemimpin hanya mencari justifikasi rasional terhadap kegagalan atau keberhasilannya. Kemampuan ‘mengkaji’ akan mendorong dia untuk mencari jawaban terhadap kegagalan atau ketidak-mampuan mencapai tujuan. Kemampuan ‘merancang’ akan mengantarkan kepada pengambilan langkah-langkah perbaikan yang baik dan tepat. Sedangkan, ‘menerapkan’ merupakan perilaku untuk menindaklanjuti hasil pengamatan, kajian, dan rancangan sebelumnya. Ke-empat proses tersebut berlangsung secara sistematis, berturutan, sinergis, dan menghasilkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemajuan, kedamaian, dan kesejahteraan Bali. Semoga. *

Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya

Komentar