nusabali

Perempuan Bali Kuno dan Now

  • www.nusabali.com-perempuan-bali-kuno-dan-now

Perempuan Bali pada kisaran abad ke-19 berkepribadian asali dengan budaya petani.

Kehidupan perempuan zaman dulu ternyata sangat jauh berbeda dibandingkan sekarang. Dalam hal berpakaian, misalnya, umumnya mereka memakai busana tanpa penutup dada, sangat lugu, dan natural. Pengasuhan anak dilakukan sepenuhnya di dalam lingkungan keluarga. Mereka juga tidak mengenal TPA atau tempat pengasuhan anak, KB atau kelompok bermain. Perempuan masa silam ‘berkarier’ dalam keluarga, menumbuh-kembangkan anak-anak menjadi ‘suputra’ dengan budaya petani yang kental.

Menurut tradisi, perempuan zaman ‘doeloe’ memperoleh nama dengan imbuhan yang  mencirikan perempuan, seperti ‘Ni’, ‘Desak’, ‘Ida Ayu’, dan sebagainya. Sudah amat lumrah perempuan Bali lekat dengan sesajen. Mereka memahami sisi artistik dan religius ‘banten’ dan ‘bebantenan’ untuk kepentingan upacara agama Hindu. Keterampilannya dalam merangkai  potongan janur, buah, dan jajan yang rapi, menjulang tinggi mengundang decak kagum pemirsa jalanan. Pakaian adat yang dikenakan bervariasi, warna warni menurut daerah dengan ciri khas simbolik dan ornamennya.

Cara mengatur rambut lengkap disertai ornamennya terdapat syarat khusus untuk perempuan Bali. Paling tidak ada 2 bentuk tata rambut perempuan maupun sanggul, yaitu ‘pusung tagel’, ‘pusung kekupu’, dan ‘pusung gonjer’. ‘Pusung kekupu’ atau ‘pusung podgala’ dikenakan khusus bagi perempuan yang memiliki status janda. ‘Pusung gonjer’ dipakai khusus untuk perempuan lajang atau belum menikah, sedangkan ‘pusung tagel’ dipakai khusus untuk golongan perempuan yang telah nikah. Kebaya yang biasanya dikenakan untuk pakaian adat perempuan Bali, yaitu kebaya dengan motif-motif sederhana dan warna yang kalem. Dengan pilihan berpakaian demikian, sisi kecantikan dan keanggunan perempuan Bali tampak jelas. Mereka umumnya memilih pakaian bisa menampilkan sisi kecantikan dan keanggunan wanita Bali. Dalam  kegiatan keagamaan, umumnya perempuan Bali memilih kebaya yang bersih, sopan, dan juga  rapi, disertai dengan ‘kamben’. Kain tersebut digunakan untuk menutupi tubuh bagian bawah sampai sebatas satu telapak tangan dari lutut. B
atasan tersebut amat diperhatikan supaya leluasa untuk bergerak tanpa harus mengundang lirikan mata binal.

Perempuan zaman ‘now’ amat berbeda tradisi maupun perilakunya dengan perempuan zaman doeloe. Perempuan masa kini disebut orang sebagai digital native atau zaman now. Artinya, zaman yang ditandai dengan perkembangan teknologi informasi. Anak perempuan kisaran umur 0 – 11 tahun tidak lagi mendengar ceritera dongeng, tetapi mereka mengunduh permainan secara on-line. Berbagai permainan maya diunduh dan dimainkan dengan antusias. Waktu mereka tersita banyak untuk bermain, sehingga tiada lagi waktu untuk bermain-belajar. Anak seumur itu sudah canggih menggunakan telepon genggam. Mereka jagonya mengunduh buku elektronik dari internet. E-book dimasukkan ke dalam book reader dan dapat dibawa ke mana saja tanpa perlu tas. Mereka juga bisa punya teman jauh lebih banyak dibandingkan TPA atau KB. Komunikasi yang dibangun sangat bebas, terbuka tanpa filter.

Perempuan zaman now berkarier kencang di luar rumah. Banyak anak-anak  diasuh dititipkan pada TPA. Mereka sejak umur enam bulan diasuh bersama dengan anak lain di TPA (day care centre). Perempuan yang bekerja dan berkarier penuh waktu dengan tenang menitipkan anaknya di TPA. Pagi anak dititipkan dan menjelang petang anak dijemput. Kelompok umur lainnya juga dapat bermain pada KB (play group). Interaksi anak dengan lingkungan keluarganya diminimalkan. Sebaliknya, interaksi anak dengan lainnya dimaksimalkan. Nilai-nilai asali keluarga bercampur.

Busana ke pura atau tempat persembahyangan mendapat sentuhan modernisasi. Kain tidak lagi digunakan untuk menyembunyikan tubuh, kadang diekpose agar memeroleh perhatian khusus. Pakaian daerah bawah tidak lagi sebatas satu telapak tangan dari lutut, tetapi lebih menampilkan fisik lain. Batasan agar lebih leluasa di saat bergerak melangkan, namun masih tampak anggun dan sopan diabaikan. Selendang atau ‘senteng’ yang disampirkan di bahu tidak lagi menjadi mode, walau pemakaian senteng memiliki arti filosofis. Filosofinya adalah wanita Bali patut mengingat ajaran dharma dan bersedia membimbing putra putrinya agar nantinya taat kepada orang tua. Demikian kontras kehidupan perempuan zaman kuno dengan zaman now. Semoga ada kearifan dalam menyimak perubahan zaman ini. *

Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya

Komentar