nusabali

Dinas LHK Tutup Permanen TPS Liar di Ungasan

  • www.nusabali.com-dinas-lhk-tutup-permanen-tps-liar-di-ungasan

Pengusaha mengaku terancam gulung tikar karena banyak karyawan yang ingin berhenti bekerja.

MANGUPURA, NusaBali
Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (LHK) Badung akhirnya menutup permanen tempat pembuangan sampah (TPS) liar di Jalan Raya Pura Pengulapan, Banjar Angas Sari, Desa Ungasan, Kecamatan Kuta Selatan, Minggu (15/4). Penutupan permanen itu karena usaha tersebut tak mengantongi izin usaha.

Penutupan itu juga telah melalui proses legal. Salah satunya pembuatan surat pernyataan dari pemilik usaha yang terdiri dari lima butir perjanjian bermaterai Rp 6.000. Dalam butir dua, pengusaha bersedia untuk menutup pembuangan sampah pada lokasi tersebut. Selain itu, penutupan permanen tersebut setelah Dinas LHK memberi tenggang waktu sepekan kepada pemilik usaha pengangkutan sampah swadaya, sekaligus pengelola dan pemilik lahan TPS tersebut.

Sebelum dilakukan penutupan resmi pada pukul 09.00 Wita kemarin, Kadis LHK Badung I Putu Eka Merthawan membacakan 5 butir perjanjian dari pengusaha di hadapan Camat Kuta Selatan I Made Widiana, perangkat Desa Ungasan, Satpol PP BKO Kuta Selatan, TNI dan Polri yang hadir di lokasi. Kelima butir perjanjian pemilik usaha itu adalah bersedia membersihkan sampah yang menumpuk pada lokasi, bersedia menutup dan menghentikan kegiatan pembuangan sampah, bersedia untuk tidak memproses dan membuang sampah di lokasi, bersedia membuang sampah dari konsumen ke TPA Suwung (Denpasar Selatan), dan bersedia untuk memanfaatkan lahan hanya untuk gudang.

“Kami telah memberikan toleransi seminggu kepada pemilik usaha ini untuk melakukan pendekatan kepada pelanggannya. Artinya kami tak mau mematikan begitu saja usaha mereka. Kami apresiasi, tetapi harus mengikuti aturan. Mulai hari ini kami menerapkan konsep monitoring. Jika kedapatan melanggar maka sanksinya sesuai dengan undang-undang. Solusi untuk mengurangi bau, Camat Kuta Selatan sudah melakukan koordinasi dengan pihak satker Balai Pekerjaan Jalan Nasional. Tanah hasil galian underpass akan dibuang ke lokasi ini untuk menutup sampah pada lahan seluas 2,5 hektare ini. Penutupan itu direncanakan akhir April ini,” ungkap Merthawan.

Dia mengatakan sebenarnya pihaknya minta agar sampah itu ditutup dengan plastik. Namun pemilik usaha mengaku tak memiliki modal. Oleh karenanya akan dilakukan penutupan dengan tanah pada akhir April ini. Untuk pengamanan dan pengawasan, diserahkan kepada Satpol PP BKO Kuta Selatan, perangkat banjar dan desa setempat. Sementara Dinas LHK melakukan monitoring seminggu sekali. Jika kedapatan melanggar maka diproses sesuai konsekuensi hukum. Dirinya berjanji akan melakukan hal yang sama terhadap sejumlah TPS liar yang ada di Kutsel.

Sementara itu, pemilik lahan I Wayan Nukartha, mengaku kesulitan untuk mempertahankan usahanya. Selain karena tingginya biaya yang dikeluarkan untuk pengangkutan ke TPA Suwung, pekerjanya juga banyak yang ancang-acang berhenti bekerja. Meski demikian Nukartha tak mau menyerah.

“Apa yang dibicarakan oleh Kadis itu adalah suara undang-undang. Saya sebagai rakyat berusaha untuk melakoninya. Kalau tak bisa lagi, apa boleh buat saya harus melepas usaha ini. Mungkin sudah saatnya saya pensiun,” tutur pria 65 tahun ini.

Dia melanjutkan setelah dilakukan perhitungan selama seminggu ini, pelanggan harus menaikkan iuran hingga dua kali lipat. Jika sebelumnya pelanggan membanyar Rp 15.000 –  Rp 20.000 kini menjadi Rp 30.000 – Rp 40.000 per bulan. Selain itu waktu pengangkutan sampah sebelumnya dua hari sekali kini enam hari sekali. Terkait kenaikan iuran bulanan ini dirinya mengalami kesulitan. Dimana setelah melakukan pendekatan dengan pelanggan selama sepekan ini baru sekitar 50 persen pelanggannya yang sepakat dengan kenaikan iuran itu.

“Pelanggan saya itu tak hanya orang kaya, tetapi ada juga kalangan menengah ke bawah. Merekalah yang merasa keberatan dengan kenaikan iuran ini. Kalau misalnya dari 3.000 pelanggan (tersebar di 10 kompleks perumahan, Red) ini hanya setengahnya saja yang mau retribusi dinaikkanr, apa boleh buat saya tutup usaha ini,” ungkap pria yang mempekerjakan 30 orang karyawan ini.

Nukartha mengungkapkan kenaikan iuran itupun penggunaannya sangat ketat. Karena sangat banyak biaya yang dikeluarkan. Selain itu harus ada penambahan tenaga kerja. “Selama ini karyawan saya gajinya Rp 1,5 juta. Selain itu ada tambahan dari hasil penjualan rongsokan. Sementara kalau dibawa ke Suwung, biaya harus naik. Pelanggan belum tentu mau dengan kenaikan itu. Selain itu kami tak bisa melakukan pemilahan sampah di Suwung. Sampah yang buang di Suwung itu sudah ada pengelolanya di sana. Jadi kami hanya betul-betul bergantung pada iuran. Selama ini saya berpikir pemerintah terbantukan dengan usaha swadaya seperti ini. Kini banyak yang tak peduli dengan sampah. Jangankan sampah orang lain sampah sendiri saja merasa jijik,” ujarnya. *p

Komentar