nusabali

Puluhan Krama Berebut Mesbes Watangan Sebelum Dinaikkan ke Bade

  • www.nusabali.com-puluhan-krama-berebut-mesbes-watangan-sebelum-dinaikkan-ke-bade

Kelian Adat Banjar Jelantik Kuribatu, Desa Tojan, I Nyoman Mujana, menyatakan sepanjang sejarah belum pernah ada jenazah sampai jatuh karena ritual mesbes watangan oleh krama setempat

Tradisi Ritual Unik ‘Ngaben Ngarap Watangan’ di Banjar Jelantik Kuribatu, Desa Tojan, Klungkung

SEMARAPURA, NusaBali
Upacara Ngaben Ngarap Watangan dilaksanakan di Banjar Jelantik Kuribatu, Desa Tojan, Kecamatan Klungkung pada Wraspati Paing Kulantir, Kamis (12/4) sore. Keunikan prosesi ritual Ngaben Ngarap Watangan ini adalah ketika puluhan krama berebut mesbes watangan (jenazah terbungkus kain kasa, tikar, dan bulah bambu) untuk dijatuhkan, sebelum kemudian dinaikan ke atas bade.

Upacara Ngaben Ngarap Watangan di Desa Tojan kali ini adalah untuk pengabenan jenazah Jro Mangku Rumpeg, Pamangku Pamuncuk di Pura Kawitan Pande Kuribatu. Tokoh spiritual sepuh ini meninggal dunia dalam usia hampir 120 tahun, Senin (9/4) lalu, karena sakit menua.

Pantauan NusaBali, Kamis kemarin, prosesi Ngaben Ngarap Watawangan untuk pengabenan Jro Mangku Rumpeg diawali dengan ritual nyiramang layon (membersihkan jenazah). Kemudian, jenazah Jro Mangku Rumpeg dibalut dengan kain kasa (kafan), tikar, selanjutnya diikat kencang menggunakan lante (bilah bambu) dan diikat tali dari bambu.

Pelilitan jenazah juga aturannya. Lilitan pertama untuk jenazah berjumlah 47 ikat, sementata yang kedua untuk watangan mencapai 53 ikat. Nah, lilitan itulah yang kemudian dibesbes (dicabik-cabik) oleh puluhan krama untuk bisa mendapatkan watangan tersebut.

Begitu watangan tersebut dikeluaran dari rumah duka di Banjar Jelantik Kuribatu, Desa Tojan, Kamis sore pukul 15.00 Wita, puluhan krama yang sebagian besar kalangan muda langsung datang mengerumininya. Mereka kemudian saling berebut untuk mesbes watangan.

Pihak keluarga duka berusaha mempertahankan agar watangan tidak sampai terjatuh dibesbes krama. Bahkan, pihak keluarga sampai minta tolong ke sanak kerabat yang memiliki badan kekar agar kuat mempertahankan watangan tersebut supaya utuh sampai ke setra.

Dalam prosesi ritual mabesbes kemarin, puluan krama yang didominasi anak muda tidak berhasil mesbes (melepas) tali pengikat watangan. Selama watangan dibesbes, ada petugas khusus yang menyemprotkan air dari mobil tangki. Setelah krama puas mabesbes, meskipun tidak bisa melepas talinya, selanjutnya watangan jenazah Jro Mangku Rumpeg dinaikkan ke atas bade pukul 16.00 Wita, untuk kemudian diarak menuju Setra Bugbugan, Desa Pakraman Gelgel, Kecamatan Klungkung yang berjarak sekitar 1 kilometer dari rumah duka.

Kelian Adat Banjar Jelantik Kuribatu, Desa Tojan, I Nyoman Mujana, 54, mengatakan tradisi Ngaben Ngarap Watangan ini sudah diwarisi secara turun-temurun. Menurut Nyoman Mujana, jenazah tersebut pertama kali masiram, kemudian dibungkus kain kasa, tikar, dan dililit dengan bambu yang sudah dibentuk sedemikian rupa. “Ikatan pertama watangan ini jumlahnya harus 47 lilitan. Sedangkan ikatan kedua berjumlah 53 lilitan,” jelas Mujana kepada NusaBali.

Mujana menjelaskan, dalam tradisi ini, para pengusung watangan biasanya dicari oleh pihak keluarga duka. Mereka dipilih orang-orang yang bertubuh kekar, agar kuat mempertahankan watangan jangan sampai terjatuh saat dibesbes oleh puluhan krama. “Sejak zaman silam sampai sekarang, belum pernah terjadi kasus jenazah sampai jatuh akibat ritual mabesbes,” papar Mujana.

Jenazah Jro Mangku Rumpeg sendiri, kata Mujada, diabenkan bersamaan dengan sang cucunya yang sudah meninggal dan dibukurkan 1,5 tahun silam. Karenanya, secara niskala, sang cucu ikut menuntun perjalanan Jro Mangku Rumpeg menuju alam baka.

Prosesi Ngaben Ngarap Watangan terakhir sebelumnya digelar di Desa Tojan tahun 2016 silam. Sejak saat itu, krama yang meninggal selalu langsung dikuburkan di setra, sampai akhirnya jenazah Jro Mangku Rumpeg diprosesi Ngaben Ngarap Watangan. “Tradisi ini bisa dilakukan untuk jenazah siapa saja, bukan hanya tokoh seperti pamangku, tapi juga bagi krama lainnya,” papar Mujana.

Menurut Mujana, Ngaben Ngarap Watangan ini digelar atau tidak, tergantung kemapuan ekonomi masing-masing keluarga duka. Jika mampu secara ekonomi, biasanya ngaben secara mandiri dengan tradisi Ngaben Ngarap Watangan. Demikian pula sebaliknya.

Sementara itu, bergairah tidaknya krama dalam mabesbes watangan, juga tergantung dari perilaku jenazah yang diabenkan semasa hidup dan keluarganya. Kalau kesehariannya dikenal sebagai pribadi yang baik, maka krama setempat akan enggan mesbes watangan. Sebaliknya, jika perangainya kurang baik, krama akan bersemangat berusaha mesbes watangan hingga jenazah bisa jatuh.“Kalau Jro Mangku Rumpeg yang diabenkan kali ini, dikenal sebagai tokoh suri taulan di masyarakat. Jadi, tidak ada semangat untuk mesbes watyangan sampai jatuh,” jelas Mujana. *wan

Komentar