nusabali

KESEHATAN : Mengenal Penyakit Bells Palsy

  • www.nusabali.com-kesehatan-mengenal-penyakit-bells-palsy

Istilah Bell’s Palsy mungkin jarang didengar oleh masyarakat awam. Penyakit ini lebih dikenal di masyarakat, khususnya di Bali dengan sebutan sempengot, yaitu kondisi di mana wajah tampak tidak simetris karena adanya kelemahan pada satu sisi.

Sempengot di Bali sering dikaitkan dengan penyebab non medis.


Bell’s Palsy adalah suatu penyakit kelumpuhan saraf wajah perifer unilateral yang terjadi secara mendadak dan disebabkan oleh adanya proses inflamasi (peradangan) dan pembengkakan pada daerah keluarnya saraf wajah (kanalis fasialis) sehingga menyebabkan penekanan dan kerusakan pada saraf tersebut.

Penyebab dari penyakit ini belum diketahui secara pasti, tetapi diduga karena reaktivasi dari infeksi virus herpes simplex (HSV-1) pada ganglion genikulatum (yang dilalui oleh saraf wajah). Penyakit ini dikemukakan pertama kali oleh seorang ahli anatomi dan ahli bedah yang bernama Sir Charles Bell (1774-1842) yang tertarik mempelajari mengenai saraf pada wajah.

Insiden dari penyakit Bell’s Palsy berkisar antara 15 sampai 30 kasus per 100.000 orang setiap tahunnya, dan mengenai laki-laki dan perempuan dengan perbandingan yang sama. Penyakit ini bisa terjadi pada semua umur, tetapi lebih sering pada kelompok umur 40-an. Bell’s Palsy rentan terjadi pada wanita yang sedang hamil, seseorang dengan imunitas yang rendah, penderita diabetes, dan tekanan darah tinggi. Beberapa studi epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit ini lebih banyak terjadi pada cuaca dingin.

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, penyakit Bell’s Palsy biasanya terjadi mendadak. Penderita biasanya menyadari adanya kelumpuhan pada separuh wajahnya saat bercermin atau dari pengamatan orang lain. Dari pengamatan tampak bahwa lipatan dahi menghilang, celah kelopak mata melebar, sulkus nasolabialis (lipatan antara hidung dan bibir atas) menghilang, hidung dan mulut tertarik ke sisi yang sehat, dan ujung bibir di sisi yang sakit lebih rendah daripada di sisi yang sehat. Ketika diminta untuk mengerutkan dahi, penderita Bell’s Palsy tidak mampu melakukannya pada sisi yang sakit. Begitu pula saat diminta untuk menutup mata, maka kelopak matanya tidak dapat dirapatkan, celah kelopak mata tetap terbuka dan kita akan melihat bola mata penderita bergerak ke atas. Saat diminta untuk meringis (memperlihatkan giginya), dan bersiul, penderita tidak mampu melakukannya pada sisi yang sakit. Terkadang mata pada sisi yang sakit mengalami iritasi karena kurangnya lubrikasi dan selalu terpapar akibat kelopak mata selalu terbuka. Gejala Bell’s Palsy biasanya berkembang dalam tiga hari hingga satu minggu.

Sekitar 85 persen penderita yang tidak mendapat penanganan biasanya akan mengalami kesembuhan parsial dalam tiga minggu setelah gejala pertama muncul. Meskipun demikian, seseorang yang mengalami gejala-gejala yang tersebut, sebaiknya berkonsultasi dengan dokter. Pengobatan yang diberikan untuk penderita Bell’s Palsy berupa pemberian kortikosteroid secara oral yang diberikan selama 10 hari yang dosisnya diturunkan secara perlahan-lahan. Terkadang pemberian antivirus juga diberikan pada kasus Bell’s Palsy yang parah. Penderita Bell’s Palsy juga sebaiknya menggunakan proteksi untuk mata seperti, kaca mata untuk mengurangi paparan, lubrikasi (tetes mata yang mengadung air mata artifisial), dan penutup mata saat malam hari. Sebaiknya hindari juga lingkungan yang berangin dan dingin. Pada penderita Bell’s Palsy juga sering tertinggal sisa makanan di antara gigi dan pipinya saat makan karena kelemahan otot wajahnya sehingga kebersihan mulut juga harus dijaga. Penggunaan sedotan juga membantu saat minum air. Pengobatan dan perawatan yang tepat dapat memberikan kesembuhan yang maksimal. *

Oleh : dr Luh Putu Widhyapsari Jayanti

Komentar