nusabali

ODGJ Dibebaskan dari Pasungan

  • www.nusabali.com-odgj-dibebaskan-dari-pasungan

Komunitas Peduli Simpul Bali menggandeng Yayasan Solemen dan Dinas Sosial Kabupaten Buleleng, Selasa (13/3) siang, melepas pasungan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) asal Banjar Dinas/Desa Tegallinggah, Kecamatan Sukasada Buleleng.

SINGARAJA, NusaBali
Dia adalah Ketut Wijana,40, pengidap gangguan kejiwaan sejak 18 tahun lalu. Dia bebas setelah sempat dipasung keluarganya selama tiga bulan terakhir. Diceritakan Luh Jasmi,43, ipar Wijana yang selama ini mengurusinya, pemasungan terhadap Wijana dilakukan keluarganya, lantaran sering mengamuk dan merusak. Pihak keluarga juga sering mendapat laporan dari tetangganya karena pengerusakan. “Banyak tetangga yang mengeluh ada yang sanggahnya dirusak, rumah juga, termasuk motor dan orang lewat juga sering dilempar pakai batu, bahkan rumahnya sendiri juga dirusak,” kata Jasmi.

Pihak keluarga pun akhirnya memutuskan untuk memasung Wijana dengan merantai kakinya dalam sebuah ruangan. Saat awal sakitnya adik iparnya itu memang sering kali emosi dan melempar apa saja di sekelilingnya. Bahkan dia yang diduga mengalami depresi juga sering memukuli mantan istrinya.

Selama delapan tahun itu anak bungsu pasangan almarhum Nyoman Toya dan Ketut Suri,64, ini diasuh oleh kakaknya Komang Yasa,44, dan iparnya Luh Jasmi,43. Anak satu-satunya hasil perkawinannya sebelum bercerai dengan istrinya, Putu Swardana juga kini ditanggung oleh kakak kandungnya.

Selama 18 tahun, dia mengalami gangguan kejiwaan sudah enam kali bolak-balik ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Bangli. Terakhir sekitar lima bulan lalu. Namun sepulangnya dari RSJ, Wijana setelah menjalani perawatan satu bulan di rumah, kembali mengamuk. Jasmi pun mengatakan pihak keluarga selalu mengutamakan pemberian obat kepada Wijana yang didapatkan dari Puskesmas sebulan sekali.

Jasmi dan keluarganya mengaku sangat bersyukur atas bantuan Yayasan, komunitas peduli dan pemerintah yang telah memberikan bantuan perawatan di rumah. Sehingga tidak perlu lagi ke RSJ memulihkan kondisi adik sulungnya. Kegembiraan juga nampak di wajah Wijana saat gebok rantai yang terikat di kaki kananya dilepas. Dia langsung beranjak keluar dari ruangan khusus berukuran 3x3 meter menuju halaman rumah.

Bahkan pria yang sebelumnya bekerja sebagai buruh tani sempat berjalan-jalan sejenak ke pematang sawah yang ada di samping rumahnya. Wijana tak banyak berkata-kata, namun saat ditanya angan-angannya, dia berkata ingin sembuh.

Komunitas Peduli Simpul Bali dr I Gusti Rai Putra Wiguna, didampingi Sarah dari Yayasan Solemen Australia mengatakan sejauh ini upaya pelepasan pasung pada ODGJ baru saja dimulai. Karena masalah ODGJ yang akhirnya dipasung keluarga bukan semata-mata karena keluarga tidak peduli, tetapi karena faktor keterpaksaan dan kelelahan atas perusakan yang biasanya dilakukan oleh ODGJ. Penyakit yang sering kali kambuh saat penderita pulang dari RSJ juga bukan soal kualitas layanan kesehatan. Namun lebih menukik pada pengobatan berkelanjutan. Penanganan dan penyembuhan ODGJ sebenarnya tidak harus berujung perawatan di RSJ, tetapi juga bisa dilakukan home care dan dirawat oleh keluarganya di rumah.

Bahkan sistem ini dinilai lebih efektif, selain dapat mengawasi langsung perkembangan penderita ODGJ, keluarga dapat lebih dekat dalam memberi support dan kasih sayang lebih kepada yang bersangkutan. Namun yang selama ini masih terjadi di Bali, banyak masyarakat yang masih menganggap ODGJ menjadi aib keluarga. Hal tersebut mengakibatkan mereka tertutup dan tidak mau terbuka untuk diobati. “Kami memulai ini sebagai awal. Harapan kedepan, masyarakat yang memiliki masalah sama, bisa lebih terbuka dan mau melakukan pengobatan sehingga tidak ada lagi ODGJ yang dipasung,” kata dia.

Dia mengatakan dengan upaya penyembuhan Home Care dapat mengurangi beban RSJ Bangli yang hanya memiliki Kapasitas 300-400 orang.

Proyeksi data ODGJ di Bali sesuai Reskesdas 2013, kata dr Rai, 2,3 per seribu berbanding jumlah total penduduk Bali atau sekitar 9.000 jiwa. Jumlah tersebut sangat tinggi dan perlu penanganan khusus. Hanya saja jumlah itu yang terdata di lapangan hanya sebagian kecil saja. Banyak masyarakat di Bali yang memiliki keluarga ODGJ menyembunyikan pasien.

Dokter yang bertugas di RS Wangaya, Denpasar ini juga menjelaskan selain pemberian obat secara rutin dan dukungan penuh keluarga, penyembuhan ODGJ juga dipengaruhi oleh stigma masyarakat sekitarnya. Kadang masyarakat belum dapat menerima ODGJ setelah kembali pulih dan masih memperlakukannya seperti orang sakit. Selain juga faktor pendekatan spiritual, seperti malukat dan prosesi lainnya sesuai dengan kepercayaan. “Mudah-mudahan dengan awal yang bagus di Buleleng, masyarakat terbuka, pemerintah juga hadir, dapat memberi contoh pada  masyarakat lain yang memiliki masalah yang sama, sehingga mereka bisa tertangani,” imbuh dia.

Kepala Dinas Sosial Buleleng Gede Komang mengapresiasi upaya komunitas sosial dan yayasan Solemen yang telah membantu penanganan warga penderita gangguan jiwa. “Ini akan kami jadikan pilot project, mudah-mudahan ini dapat dilihat oleh seluruh masyarakat sehingga ke depannya tidak ada lagi masyarakat yang dipasung karena ODGJ,” kata dia.

Data Dinas Sosial Buleleng tahun 2017, ada 20 ODGJ yang akhirnya dipasung pihak keluarganya, karena sering mengamuk dan membahayakan. Namun data tersebut sangat fluktuatif, sebab pemasungan yang dilakukan rata-rata tidak selamanya. Kadang mereka dipasung hanya saat dinilai mengancam keselamatan orang banyak, dan dilepas kembali saat kondisinya kembali stabil.

Progam penanganan ODGJ di Buleleng juga selain dengan pembinaan juga sudah ada yang diberikan bantuan bedah rumah bagi mereka yang kurang mampu. Sejauh ini di Buleleng ada 11 orang ODGJ tersebar di seluruh kecamatan Buleleng mendapatkan bantuan bedah rumah.*k23

Komentar