nusabali

Zaman Now

  • www.nusabali.com-zaman-now

Pepatah Melayu mengurai, ‘Air titian atap jatuh ke pelimbahan juga’. Artinya, perilaku anak tidak jauh beda dengan ayahnya. Di negeri Barat, ada pepatah serupa, ‘Buah apel jatuhnya tidak jauh dari pohon’.

Mirip-mirip perilaku anak dengan orangtua yang melahirkan mereka. Pepatah ini seakan memperkuat hipotesis genetika, bahwa semua yang ada karena keturunan. Namun, hipotesis demikian sudah tidak memperoleh pembenaran saat ini. Zaman sekarang sering diplesetkan menjadi era nano-nano. Nano-nano memilki rasa campuran, manis dan asem menyatu membuahkan sensasi.


Alfin Toffler, sosok futuris mumpuni, menyebutkan era ini ditandai dengan goyahnya sendi-sendi keadaban. Orang-orang pintar sering kehilangan kecerdikan dalam aritmatika. Bila mereka ditanya, dua kali dua sama dengan berapa? Mereka menjawab lurus, yaitu; empat. Jawaban demikian tidak cerdik, karena kejujuran dan kebenaran bukan ukuran pada zaman liar. Pertanyaan demikian harus dijawab dengan suara hampir berbisik, bapak mau berapa? Demikian halnya dengan mendidik anak. Anak-anak memang dilahirkan dan dibesarkan oleh orangtua. Tetapi, mereka tidak selalu patuh pada pengajaran orangtua. Anak-anak sekarang besar dan dewasa di bawah hegemoni lingkungan. Bukan lagi keturunan yang bergaris lurus dengan kelahiran.

Memang sebagian besar anak-anak masih diasuh di lingkungan keluarga. Tetapi saat ini, mereka sering dititipkan pada Taman Pengasuhan Anak (TPA). Mereka sejak umur enam bulan dapat diasuh bersama dengan anak lain di TPA. Bagi orangtua yang bekerja atau berkarier penuh waktu dengan tenang menitipkan anak di TPA. Pagi anak dititipkan dan menjelang petang anak dijemput. Kelompok umur lainnya juga dapat bermain bersama pada Kelompok Bermain (KB). Interaksi anak dengan lingkungan keluarganya diminimalkan. Sebaliknya, interaksi anak dengan lainnya dimaksimalkan. Nilai-nilai asali keluarga bercampur saat anak memerlukan pegangan.

Masa kini disebut orang sebagai digital native atau zaman now. Artinya, zaman yang ditandai dengan perkembangan teknologi informasi. Anak kisaran umur 0 – 11 tahun tidak lagi mendengar ceritera dongeng, tetapi mereka mengunduh permainan secara on-line. Berbagai permainan maya diunduh dan dimainkan dengan antusias. Waktu mereka tersita banyak untuk bermain, sehingga tiada lagi waktu untuk bermain-belajar.  Anak seumur itu sudah canggih menggunakan telepon genggam. Mereka jagonya mengunduh buku elektronik dari internet. E-book dimasukan ke dalam book reader dan dapat dibawa ke mana saja tanpa perlu tas. Mereka juga bisa punya teman jauh lebih banyak dibandingkan TPA atau KB. Komunikasi yang dibangun sangat bebas, terbuka tanpa filter.

Mereka bisa berkomunikasi hanya dengan mengetik pesan. Dia tidak perlu belajar menulis secara khusus. Kalau ia ingin berkomunikasi ida hanya tinggal menulis pesan singkat (SMS). Bahasa yang digunakan memiliki kekhasan, tidak seperti bahasa normal. Anomali bahasa sering bermunculan di tengah-tengah sms tersebut. Kadang orang normal tidak bisa berinteraksi dengan kekhasan itu. Kode satu bercampur kode lain (code mixing), kode satu beralih cepat ke kode lain (code switching) atau kode satu menyeberang ke kode lain (code crossing). Artinya, percampuran, pergeseran atau penyeberangan dialek, aras tutur, laras tutur atau bahasa terjadi secara unik. Wujud ikonik tutur pada era digital native sangat fantastis.

Bagaimana peran orangtua pada era digital native? Orangtua seharusnya menyadari bahwa anak-anak melesat cepat bagai anak panah. Bila diandaikan orangtua sebagai busur, maka dia harus berciri spesifik. Busur yang lentur akan memberi topangan bagi anak panah. Elasitasnya harus dikemas sejalan dengan potensi anak. Jarak rentang busur akan memberikan daya yang tepat bagi pergerakan anak panah. Kalau busur terlalu kaku, maka anak panah tidak akan beranjak jauh. Sebagai busur yang lentur, ia harus diikat tali yang kuat. Tali dapat ditarik serenggang mungkin tanpa takut putus. Dengan busur yang lentur dan tali yang kuat, maka anak panah akan memiliki energi potensial. Dengan demikian, anak panah dapat melesat jauh membidik sasaran yang diinginkan. Peran strategis orangtua di zaman digital native kurang lebih menjadi busur yang lentur, bertali kuat dan mengerti sasaran yang ingin dicapai anak-anak. Tanpa itu, maka peranan orangtua menjadi sia-sia. Semoga. *

Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya

Komentar