nusabali

Menyoal Hari 'Velentine'

  • www.nusabali.com-menyoal-hari-velentine

Hingar-bingar perayaan hari “Valentine” pada tanggal 14 Februari kemarin terekspos di media sosial maupun di berbagai media cetak dan elektronik. 

Terlepas dari mana yang benar dari sejarah atau asal-usul dari perayaan hari “Valentine”, yang perlu diingat bahwa perayaan tersebut merupakan budaya/tradisi impor yang di Indonesia mulai berkembang di tahun 200-an. Budaya perayaan hari “Valentin” ini menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Sejumlah orang memaknai hari “Valentine” tersebut sebagai perayaan kasih sayang. Lalu, pihak lainnya yang menuding sebagai 'peringatan yang sengaja diadakan' untuk mendongkrak penjualan kartu, cokelat, bunga, dan barang-barang lain yang dianggap mewakili ungkapan cinta (komersialisasi perayaan cinta). Beberapa daerah bahkan melarang perayaan tersebut dan menilai bukan budaya bangsa yang harus dilestarikan, seperti; Pemerintah Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat; Wali Kota dan Bupati Bima memerintahkan setiap lurah dan camat di wilayah mereka untuk menyiapkan khotbah keagamaan tentang larangan Valentine; Dinas Pendidikan Jawa Barat; Kota Depok; Bondowoso, Blitar, dan Aceh Besar juga secara tegas melarang perayaan tersebut. Lalu, bagaimana dengan di Provinsi Bali. Pemerintah dan masyarakatnya tidak ada yang secara tegas melarang atau memperbolehkan perayaan hari Valentine tersebut, sehingga perayaan hari Valentine marak terjadi pada tanggal 14 Februari kemarin. 

Sesungguhnya, Umat Hindu memiliki akar budaya adi luhung tentang perayaan hari kasih sayang tersebut. Sayangnya, kapan perayaan hari Valentine/hari kasih-sayang versi Hindu ini kurang sosialisasi sehingga tidak diketahui oleh masyarakat, khususnya para anak-anak muda Hindu khusunya di Bali. Valentin/hari kasih sayang versi Hindu adalah hari “Tumpek Krulut” jatuh pada hari Sabtu kliwon, wuku Krulut, yaitu setiap 6 bulan atau 210 hari kalender. Pada hari “Tumpek Krulut” masyarakat Hindu mengadakan pemujaan, sebagai ungkapan puji syukur kepada Tuhan dalam manisfestasinya sebagai “Dewa Iswara”,  sebagai pencipta suara-suara suci dalam bentuk tabuh atau gamelan. Istilah dari “Tumpek Krulut” diambil dari nama wuku (penanggalan Jawa dan Bali) berdasarkan kalender Bali, yaitu “lulut” yang memiliki makna jalinan atau rangkaian. Jadi,  hari “Tumpek Krulut” merupakan wujud dari kasih sayang terhadap alat-alat seni berupa gamelan atau tetabuhan. Hari “Tumpek Krulut” jika dicermati secara mendalam sesungguhnya sebagai sarana memunculkan rasa saling asih, asah dan asuh di antara sesama manusia melalui sarana seni tetabuhan, hasil dari karya cipta “Hyang Widhi’ (Tuhan Yang Maha Esa) yang membuat rasa tertarik, senang, dan terpesona dalam kehidupan. Hal itu dipertegas oleh pernyataan cendekiawan Hindu, Drs. I Ketut Wiana, M.Ag., Dosen dari IHDN (Institut Hindu Dharma Negeri) Denpasar, “Tumpek Krulut diambil dari Kata “krulut” berasal dari kata “lulut” yang artinya ‘senang’ atau ‘cinta’ yang bisa disejajarkan dengan makna sayang cinta dan welas asih. Hari kasih sayang di Bali sudah ada sejak zaman dahulu, seperti halnya hari Valentine.  Hanya saja, banyak di antara kita yang belum memahami kalau hari “Tumpek Krulut” merupakan hari kasih sayang. Moment Hari Tumpek Krulut adalah salah satu implementasi dari Tri Hita Karana yang melibatkan yadnya atau korban suci. Korban suci adalah bagian dari cinta yang tulus. Krama Hindu di Bali selama ini merayakan hari Tumpek Krulut sebagai hari piodalan di pelinggih penyarikan di banjar - banjar. Di hari Tumpek Krulut krama banjar mengupacarai perangkat  “gamelan” atau “tetabuhan”. Di dalam masyarakat, “tetabuhan” sangat identik dengan “Gong”. Oleh sebab itu, hari Tumpek Krulut juga sering disebut dengan “Odalan Gong” atau “Otonan Gong” yang bertujuan agar perangkat suara untuk kelengkapan upacara tersebut memiliki suara yang indah dan bertaksu. Sesajen yang dihaturkan pada hari Hari Tumpek Krulut yaitu peras pengambean, ajuman, tigasan, beserta tipat/ketupat gong. 

Jika kita sepakat untuk tidak membiasakan/mentradisikan budaya impor karena sesungguhnya kita sendiri sudah memiliki warisan budaya yang adi luhung tentang hari kasih sayang, maka harus ada upaya untuk mencegah masuk dan mentradisinya budaya impor ini, yaitu dengan: 1) Memperkuat peran keluarga; Keluarga memiliki peran penting sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak. Keluarga bisa menjadi benteng virus liberalisme dan perayaan budaya impor. Maka diperlukan penguatan keluarga dengan menanamkan nilai moral dan agama serta selalu terikat dengan hukum adat/agama setempat. 2) Mengoptimalkan peran sekolah; Sekolah harusnya berperan untuk menangkal budaya perayaan ini, bukan malah membiarkan atau mendukung. Guru melalui kurikulum harusnya memasukkan materi hari kasih sayang berdasarkan adat dan agama setempat ke dalam materi pembelajaran. Selain itu, Dinas Pendidikan juga semestinya memberikan himbauan dan pelarangan terkait kegiatan tersebut. 3) Teladan orang tua dan lingkungan; Orang tua menjadi model panutan yang memberikan teladan bagi anaknya. Orang tua harus menjadi contoh dengan tidak ikut-ikutan latah merayakan budaya impor, sehingga bisa dicontoh anak-anaknya. Lingkungan semestinya juga tidak mengekspos kemeriahan pelaksanaan Valentine tersebut dan tidak justru menjadi penyedia sarana perayaan tersebut hanya semata-mata demi kepentingan bisnis. 4) Peran Media Massa: Media massa (cetak atau elektronik) hendaknya tidak terlalu mengekspos prosesi kegiatan perayaan budaya impor tersebut, tetapi justru turut menjadi filter masuknya budaya asing dengan mengekspos “kearifan lokal” sejenis yang sudah ada. 5) Peran PHDI bagi umat Hindu. PHDI sebagai pucuk tertinggi paruman umat Hindu, hendaknya bersinergi dengan organsisasi-organisasi Hindu lainnya, seperti: Peradah, KMHDI, serta para cendekiawan Hindu, tokoh masyarakat untuk menyosialisasikan tentang hari kasih sayang versi Hindu yang jatuh pada hari “Tumpek Klurut”. Khusus di Bali, PHDI hendaknya juga mengandeng Majelis Desa Pekraman (dari pusat sampai ke desa-desa adat) untuk menyosialisaikan makna kasih sayang versi Hindu kepada generasi muda Hindu melalui sekolah-sekolah maupun pasraman-pasraman Hindu. 6) Peran Negara memberangus budaya liberal; Negara harusnya memfilter budaya asing yang masuk. Budaya asing yang merusak (sekulerisme, liberalisme, kapitalisme) semestinya jangan diberikan angin segar di negeri ini jika budaya tersebut justru akan membuat negeri ini terpuruk di semua lini.

Jauh yang lebih penting, bahwa kasih sayang semestinya bukanlah dirayakan setiap tahun, tetapi justru dirayakan dan dirasakan setiap hari dalam setiap sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan konsep saling asah, asih, asuh, berlandaskan “Trikaya Parisuda” (berbuat yang baik, berpikir yang baik, dan berbicara yang baik) pada tataran “Tri Hita Karana” (pawongan/antar sesama, palemahan/lingkungan sekitar, dan parahyangan/kepada Tuhan Yang Maha Esa). Dunia abad 21 memang menjadi dunia tanpa batas. Akankah kita terus latah untuk mengimpor tradisi/budaya baru dari luar, lalu melupa pada taradisi dan akar budaya sendiri? Menarik untuk kita tunggu.

Rujukan:
1. http://global.liputan6.com/read/2175676/14-februari-sejarah-kelam-hari-valentine.
2. http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/18/02/12/p411gb284-mataram-larang-perayaan-hari-valentine
3. http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-43041133
4. https://www.kiblat.net/2017/02/06/valentine-day-budaya-rusak-dan-merusak/
5. http://colekpamor.blogspot.co.id/2016/02/makna-tumpek-krulut-hari-valentinennya-umat-hindu-bali.html
6. Tautan WhatsApp goup GP Karangasem

Penulis : I Wayan Kerti



*. Tulisan dalam kategori OPINI adalah tulisan warga Net. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Komentar