nusabali

Jembrana Gagal Pentas Joged di TMII

  • www.nusabali.com-jembrana-gagal-pentas-joged-di-tmii

Joged jaruh tak ubahnya seperti virus kanker. Kanker jika tidak diobati maka akan membahayakan diri sendiri.

Padahal para penari joged dan sekaa joged di Jembrana, menurut Sutardi, sampai saat ini belum ada yang yang menampilkan joged jaruh. Memang diakui, ada beberapa informasi tentang pentas tari joged jaruh yang dipentaskan di wilayah Bumi Makepung itu, namun penari tersebut bukan asli dari Jembrana. “Sempat ada ditemukan pentas joged jaruh di wilayah Jembrana, tapi pelakunya bukan orang Jembrana. Namun saat rapat resmi di Disparbud Jembrana beberapa waktu lalu, ada yang menyebut salah satu penari joged jaruh itu berasal dari Mendoyo, tapi tidak tinggal di Jembrana,” kata Sutardi.  

Sutardi menambahkan, sampai sekarang ada 15 sekaa, tapi dalam data kami ada lebih dari 40 sekaa. Sedangkan penari joged ada 18 orang. Pembinaan-pembinaan yang sudah dilakukan, di antaranya melalui even PKB, Bali Mandara Mahalango, hingga lomba joged yang tahun 2017 yang berhasil mendapat dapat juara 1. Selain itu, pada perayaan HUT Kota Negara juga ditampilkan joged-joged inovatif.

Menurut perwakilan MUDP Provinsi Bali, Prof Dr I Wayan Suarjaya, joged jaruh tak ubahnya seperti virus kanker. Kanker jika tidak diobati maka akan membahayakan diri sendiri. Maka dari itu, pihaknya menekankan yang harus dilakukan oleh masyarakat adalah stop peneyabaran video dan melaporkan konten yang tidak pantas. Sedangkan peran bendesa diharapkan sebagai ‘benteng’ dalam menjaga kebudayaan Bali. “Saya minta dengan sangat bendesa untuk melarang pementasan joged jaruh. Mari sama-sama tingkatkan kewaspadaan kita. Di Jembrana belum tercemar, saya berharap Jembrana tetap menjaga ajegnya Bali. Sebab Jembrana benteng pertama dari pengaruh luar” harapnya.

Senada dengan Prof Suarjaya, budayawan Bali Prof Dr I Wayan Dibia mengatakan ini tidak saja hanya terjadi di tarian joged, melainkan dalam kehidupan kesenian, sudah banyak ada transfer aksi jaruh ke kesenian lain, seperti bondres dan kesenian lainnya yang umumnya menggunakan peran liku. “Ini tidak kalah serunya bisa mencoreng warna budaya Bali, karena peran-peran itu juga melakukan aksi-aksi jaruh. Mengapa itu terjadi? Karena penari tersebut menganggap aman melakukan hal itu karena dirinya laki-laki. Namun sesungguhnya di mata publik mereka memerankan tokoh wanita. Ini juga harus kita waspadai bersama,” jelas Guru Besar ISI Denpasar itu.  

Terkait pelaku joged jaruh yang berlindung di balik alasan ekonomi, Prof Dibia menekankan, agar itu tidak usah dijalankan. Menurutnya, lebih baik mendapatkan rejeki sedikit dengan tetap menjaga citra joged, ketimbang bayaran besar namun akhirnya harus berurusan dengan hukum. Sebab hukum bagi pelaku joged jaruh, naik penari, sekaa, pengibing, pengunggah, dan panitia acara kini sudah tidak main-main. Hukuman antara 2,8 tahun hingga 10 tahun, plus denda Rp 1 miliar. “Secara sederhana, sampunang ngigel (jangan menari) yang melanggar. Jangan sampai mematikan joged yang ada, karena joged kini sudah dipukul rata. Kalau sampai joged jaruh menyebabkan joged pakem mati, ini kesalahan kita semua,” pintanya.

“Joged itu kesenian sensual, bukan seksual. Kalau sensual itu, dia memperlihatkan gerakan-gerakan keindahan. Tapi kalau seksual, itu mempertontonkan aksi-aksi tidak pantas. Lebih baik mencari amerta (rezeki, Red) walau jumlahnya lebih sedikit, daripada dapat bayaran besar tapi melanggar dan akhirnya harus berurusan dengan polisi,” imbuhnya.

Selain itu, kata Prof Dibia, stigma joged jaruh berpotensi akan membuat kerugian besar bagi ranah budaya Bali. Karena tidak menutup kemungkinan, gara-gara kemunculan joged jaruh, organisasi dunia UNESCO bisa saja mencabut tari joged dari sembilan tari Bali yang ditetapkan sebagai warisan dunia akan dicabut. “Joged jaruh ini dibiarkan begitu saja, kita khawatirkan, badan organisasi UNESCO yang telah menetapkan 9 tarian Bali khususnya joged bisa dicabut. Karena joged ini termasuk satu paket, dimana ditetapkan secara bersamaan,” tandas Prof Dibia. 7ind

Komentar