nusabali

MUTIARA WEDA : Hidup Egaliter, Mungkinkah?

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-hidup-egaliter-mungkinkah

Dalam pengetahuan dan perkembangan akhir, baik seorang Brahmana, sapi, gajah, dan bahkan anjing atau orang yang ada di luar kasta pun, orang bijaksana akan melihat mereka secara sama.

Vidyāvinayasampanne brāhmane gavi hastini,
Suni caiva svapāke ca panditāh samadarsinah.
(Bhagavad-gita, V.18).

BANYAK yang meragukan bahwa Hindu menganut sistem kemasyarakatan yang egaliter. Orang melihat, baik secara tekstual maupun secara praktik, masyarakat Hindu mengindikasikan adanya ketidaksamaan derajat. Jika baca teks Dharmasastra, akan dijumpai bagaimana tatanan masyarakat diatur sesuai dengan posisi varna-nya. Di dalam Wiracarita Mahabharata juga sangat kelihatan menunjukkan strata masyarakat yang demikian rigid. Demikian juga di dalam teks-teks lain mengindikasikan bahwa kehidupan yang berjenjang itu diakui dan dijalani secara massif. Kondisi ini telah ditanamkan sejak awal sehingga menjadi bawaan genetis. Ketika seseorang lahir, pertama dia telah membawa gen varna, dan kedua, dia telah secara langsung dididik serta didoktrin untuk tetap berada di dalam lingkup Varnanya. Bayangkan bagaimana perlawanan Karna terhadap sistem Varna (kasta) ini di dalamnya. Dirinya tidak saja melawan mereka yang lahir dalam varna yang lebih tinggi, tetapi juga melawan tradisi di dalam Varnanya sendiri.

Saat ini, memang kehidupan tidak lagi sekaku zaman itu. Akses pendidikan sudah bisa diraih oleh siapapun juga, demikian juga akses publik, kekuasaan, kesehatan, dan yang lainnya. Ketika kehidupan modernitas berkembang, kekuatan sistem tersebut berangsur-angsur melemah. Yang masih bisa dipertahankan mungkin dalam hal perkawinan dan pemujaan kepada leluhur. Mereka menyebut sebagai upaya mempertahankan kemurnian persaudaraan. Ke depan pun ketika pendidikan semakin maju, sebagaimana dinyatakan oleh teks di atas, ketika seseorang berada di dalam pengetahuan dan dalam perkembangan kesadaran yang hampir mendekati sempurna, dia akan melihat apapun secara sama tanpa ada pengkotak-kotakan.

Banyak orang yang menginterpretasi bahwa teks di atas pun sebenarnya tidak ingin menyampaikan prinsip egalitarian bagi kehidupan masyarakat. Krishna tidak pernah menyatakan bahwa kehidupan masyarakat itu egaliter. Kehidupan masyarakat di zaman itu tetap berlapis-lapis di dalam strata sosial yang ketat. Itu tidak dipungkiri, karena jika kita membaca Uddhava Gita, ajaran terakhir Krishna kepada kusirnya, juga mengindikasikan bahwa strata sosial berdasarkan Varna memang ada dan berjalan secara ketat. Krishna tidak mengatakan kehidupan masyarakat yang egaliter, tetapi, penekanannya terletak pada kesadaran manusia yang hampir mendekati sempurna atau mereka yang telah berada di dalam pengetahuan.

Artinya, orang yang memiliki pengetahuan sempurna tidak lagi melihat perbedaan apakah itu manusia maupun binatang, sebab baik pada orang maupun binatang mengandung substratum yang sama. Meskipun dia mampu melihat persamaan itu, bukan berarti dia menolak sistem stratifikasi tersebut, sebab waktu itu, stratifikasi masyarakat berdasarkan varna (kasta) itu adalah sesuatu yang alami sebagai bentuk hukuman kehidupan atas karma masa lalu. Zaman itu, jika seseorang lahir sebagai Sudra atau Paria, dia harus menerima kelahiran tersebut sebagai bentuk hukuman atas karma masa lalu. Dia tidak boleh melewati hukuman itu dengan menentang kastanya. Dengan menjalani kehidupan dalam varnanya secara baik, kelak dia akan dibebaskan dari hukumannya dan dilahirkan dalam kasta yang lebih tinggi.

Zaman itu, karena hanya kaum yang lebih tinggi saja yang berhak atas literasi, maka hanya orang tertentu saja mampu mencapai pengetahuan dan kesadaran yang sempurna, sehingga kehidupan masyarakat yang berlapis tidak bisa dihilangkan. Beruntungnya, ketika kehidupan modern lebih menonjolkan pada pengetahuan, yakni manusia diajak untuk mencintai pengetahuan, sehingga sistem ini mulai kehilangan akarnya. Banyak dari mereka yang keleluhurannya terpinggirkan di zaman dulu oleh sistem, kini memiliki akses yang kuat baik untuk meraih pengetahuan maupun kekuasaan. Siapapun yang memiliki pengetahuan serta kekuasaan dia akan menduduki strata sosial lebih tinggi. Kedudukannya ditentukan oleh usahanya sendiri. Stratifikasi di sini masih tetap ada, hanya modelnya saja yang berbeda. Siapapun boleh berupaya untuk meraih kedudukan itu. Mungkin kehidupan masyarakat yang egaliter seperti ini, sebab strata sosial terbentuk secara alami di dan oleh masyarakat itu sendiri di dalam interaksinya sehari-hari. Stratifikasi terjadi tidak terbentuk secara sistematis atau melembaga, melainkan hanya terjadi pada perspesi-persepsi terhadap simbol-simbol yang diyakini dan diakui oleh masyarakat pendukungnya. *

I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta           

Komentar