nusabali

Masihkah Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) akan Kisruh?

  • www.nusabali.com-masihkah-penerimaan-peserta-didik-baru-ppdb-akan-kisruh

Penerimaan peserta didik baru (PPDB) pada tahun pelajaran 2017/2018 yang lalu menyisakan banyak masalah sebagai buntut dari keluarnya dua Permendikbud, yaitu Permendikbud No. 22 Tahun 2016 dan Permendikbud No.17 Tahun 2017

Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Bali, Ibu Tia Kusumawardani, menjelaskan (pada acara dialog interaktif di Dewata TV Rabu 12 Juli 2017 pkl 07.00 Wita), sebagai berikut:


“Pergub No, 40 Tahun 2017 tentang penerimaan peserta didik baru (PPDB) diperuntukkan bagi siswa yang tidak lulus pada penjaringan gelombang pertama dan belum mendaftar di sekolah lain (swasta/negeri). Jika sudah mendaftar ke sekolah lain (swasta/negeri) maka siswa tersebut otomatis gugur pada pendaftaran gelombang kedua. Itu artinya penerimaan di sekolah negeri pada gelombang kedua diperuntukkan hanya bagi siswa yang tidak lulus pada saat PPDB gelombang pertama dan belum mendapatkan sekolah baru.”

Dari penjelasan di atas, itu artinya bahwa sekolah-sekolah negeri hanya diperbolehkan menerima siswa baru pada gelombang kedua adalah para siswa yang belum sempat mendaftar ke sekolah lain (termasuk swasta) dan belum diterima. Jika sudah diterima di sekolah lain, maka siswa tersebut akan gugur jika mendaftar lagi di sekolah negeri, itu pun penambahannya hanya dibatasi pada kelas terakhir.

Jadi, berdasarkan penjelasan Pergub tersebut, kekhawatiran sekolah swasta terjawab sudah. Akan tetapi, keresahan dan kegelisahan masyarakat tentulah belum hilang, utamanya di daerah-daerah yang sekolah swastanya sudah mati atau mati suri (terutama di jenjang SMP).

Tentu menjadi keprihatinan kita bersama. Kemana anak-anak mereka harus bersekolah? Pertanyaan itu akan menjadi sebuah pertanyaan klise, karena jawabannya sementara ini kita semua tidak tahu. Kondisi seperti ini tidak tentu tidak hanya terjadi di Bali, tetapi juga terjadi di daerah lainnya.

Jika kondisi ini Permendikbud itu tetap harus dilaksanakan, maka dari tahun ke tahun akan semakin banyak anak-anak usia sekolah di negeri ini yang putus sekolah. Di samping kontraproduktif dengan program wajib belajar, juga telah mengebiri hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan bertentangan dengan pembukaan UUD 1945 alenia ke-4.

Oleh karena itu, jika ingin tetap menegakkan aturan hendaklah mencarikan solusi/jalan keluar terlebih dahulu agar tidak berdampak negatif pada citra pemerintahan juga pada kesejahtraan masyarakat. Mengutif pernyataan Bapak Jokowi yang sering dikumandangkan; “Negara mesti hadir ketika rakyatnya mengalami kesusahan” sepertinya belum sejalan dengan kebijakan atau peraturan yang dibuat oleh para pembantunya (utamanya Kemendikbud).

Adapun solusi yang bisa diambil oleh ke depan oleh pemerintah, yaitu:

1.    Pemerintah melalui aparaturnya dari pusat sampai tingkat paling bawah, hendaknya secara masip menyosialisaikan program dan peraturan pemerintah khususnya di bidang pendidikan sehingga masyarakat sejak awal menjadi paham dan menyadari akan hak dan kewajibannya. Dengan demikian, masyarakat tidaklah apreori kepada pemerintah. Selama ini jangankan masyarakat awam, para gurupun mungkin masih ada yang belum tahu dengan peraturan tersebut sebagai akibat kurangnya sosialisasi dan turunnya peraturan yang terkesan mendadak.

2.    Pemerintah sejak mulai saat ini hendaknya sudah mulai memikirkan peningkatan sarana-prasarana pendidikan, seperti; pendirian sekolah baru, penambahan RKB (ruang kelas baru) membenahi fasilitas sekolah yang rusak ringan atau berat, memeratakan distribusi pendidik dan tenaga pendidikan, memperbanyak buku-buku pelajaran, dsb. Pendirian sekolah baru tentu akan memakan anggaran yang sangat besar dan biasanya terkendala pembebasan lahan. Memperbanyak pembentukan sekolah satu atap (Satap) menjadi salah satu solusi.

3.    Pemerintah mesti juga berpikir untuk sedikit lebih luwes untuk merevisi peraturan yang dibuatnya dengan memperhatikan kepentingan untuk menyelamatkan anak-anak yang berasal dari keluarga kurang mampu untuk diutamakan diterima di sekolah negeri. Untuk itu, Permendikbud No.17 Tahun 2017, khususnya yang mengatur tentang tata cara PPDB agar persentasenya lebih banyak lagi untuk menampung anak-anak dari keluarga tidak/kurang mampu. Tentu kebijakan tersebut akan bisa menimbulkan kecemburuan dan gugatan dari berbagai pihak, tetapi jika dibarengi dengan sosialisai yang masip dan peningkatan pengadaan sarana-prasarana sekolah yang memadai, ekses negatifnya dapat kita minimalisir.

4.    Pemerintah pusat maupun daerah agar menyadarkan pihak swasta untuk turut andil memberikan sumbangsih membangun dunia pendidikan di negeri tercinta ini dengan menyisihkan sedikit pendapatannya untuk dunia pendidikan. Bentuk-bentuk kerjasama yang dibangun bisa dengan pola ‘bapak asuh’, pemberian beasiswa miskin/prestasi, pengadaan buku-buku, pemberian beasiswa belajar bagi guru dan tenaga pendidikan, sampai pada pendirian sekolah-sekolah yang dikelola oleh pihak swasta. Sekolah-sekolah yang didirikan hendaklah berbasis kepentingan membantu mensejahtrakan masyarakat, bukan berorientasi bisnis.

5.    Penghapusan iklan/motto “sekolah gratis” yang sering tayang di berbagai media cetak atau elektronik hendaknya ditinjau lagi. Justru motto bahwa “kemiskinan karena kebodohan, kebodohan karena pendidikan, dan pendidikan itu mahal” patut kita kumandangkan. Dampaknya, kita harapkan bagi masyarakat yang secara ekonomi mampu tidak lagi mengejar sekolah negeri (gratis), tetapi mencari sekolah berkualitas, walaupun harus merogoh ‘kocek’ lebih banyak.

Jadi, jika ingin dunia pendidikan kita maju dan kekisruhan-kekisruhan pada saat PPDB tidak terus berulang, hendaklah pemerintah merencanakan setip kebijakan atau peraturan yang dibuatnya secara matang. Masyarakat utamanya yang mengerti peraturan juga tidak memperkeruh suasana dengan menjadi buta-tuli terhadap atauran, atau bahkan turut melanggar aturan. Yang lebih celaka lagi, menjadi “kompor” masyakat yang awam aturan.

Dengan demikian, masyarakat adil dan makmur sesuai amanah mukadimah UUD 1945, dan cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945 dapat impikan akan terwujud. Semoga Indonesia emas di tahun 2045 seperti dambaan kita bersama dapat kita wujudkan!

Penerimaan siswa baru tahun pelajaran 2018/2019 pun segera akan datang pada bulan Juli tahun 2018 ini. Tentu kita semua berharap, kekisruhan penerimaan peserta didik baru (PPDB) tidak terulang kembali. Kita juga berharap pemerintah pusat sampai ke daerah, sudah mengkaji dan mempersiapkan sistem yang terbaik untuk “mengeksekusi” Permendikbud No.17 Tahun 2017 tentang PPDB tersebut sehingga tidak ada lagi permasalahan di lapangan. Tidak tertutup kemungkinan, akan munculnya peraturan-peraturan baru. Menarik untuk kita simak dan tunggu sampai menjelang penerimaan siswa baru (PPDB) tahun pelajaran 2018/2019, khususnya kita di Bali yang sedang dilanda musibah Gunung Agung. (K.50)

Penulis : I Wayan Kerti

Komentar