nusabali

Bersekolah Tidak Sama dengan Belajar?

  • www.nusabali.com-bersekolah-tidak-sama-dengan-belajar

Bersekolah tidak semakna dengan belajar. Bersekolah identik dengan perolehan sertifikat, diploma atau ijazah.

Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD

Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya

Orang bisa memperoleh ijazah atau gelar tanpa perlu belajar. Sebaliknya, orang belajar tidak harus bersekolah. Belajar dapat terlaksana di mana saja dan kapan saja, sepanjang hayat. Bersekolah dapat dilakukan di rumah atau homeschooling. Belajar tidak mesti di sekolah dengan seorang guru. Belajar bisa di rumah, di sekolah maupun di masyarakat. Metode pembelajaran tidak harus konvensional. Dewasa ini pembelajaran dapat dibantu teknologi, sehingga pembelajaran berbasis web atau e-learning, lebih efisien. Jadi, sekolah bukanlah instrumen untuk belajar tentang perubahan. Belajar merupakan instrumen untuk mengenal, memahami, dan peka terhadap perubahan.

Bersekolah (schooling) memang penting, tetapi belajar (learning) lebih penting daripada bersekolah. Memang, anak-anak atau remaja rajin ke sekolah, kecuali pada hari Minggu atau libur. Mereka mengikuti pelajaran dengan baik, dan hasilnya hanya nilai mata pelajaran semata. Menurut David Riesman, sekolah seharusnya tidak berfungsi sebatas sebagai sistem meraih nilai skolastik. Sekolah sebaiknya dapat mereduksi motivasi instrumental anak, yaitu dorongan untuk meraih angka tinggi semata. Dengan perkataan lain, sekolah seharusnya menjadi institusi dalam menciptakan kualitas. Sekolah seyogianya dijadikan instrumen perubahan yang mampu mereduksi entrofi pembelajaran.

Sebaliknya, belajar merupakan instrumen untuk mengenal, memahami, dan peka terhadap perubahan. Di sekolah, setiap mata pelajaran ditengara disajikan berupa fakta. Semata. Anak hanya menghafal fakta, seperti perkalian, penjumlahan, pembagian, misalnya dalam mata pelajaran matematika. Kalau anak berhasil menghafal fakta, lalu apa dan bagaimana selanjutnya? Apakah keberhasilan menghafal memiliki manfaat terhadap persoalan hidup mereka? Menurut Norbert Wiener, apa tidak sebaiknya anak belajar tentang nilai, norma, etika, dan moral yang berbeda dengan realitanya. Di Jepang, misalnya, anak-anak usia dini ditumbuhkembangkan menjadi anak Jepang yang baik. Dengan kata lain, bersekolah berfungsi sebagai sistem balikan anti entrofi (anti-entropic feedback systems).

Dapatkah belajar dijadikan sebagai budhiyoga? Bagavadgita, menerangkan bahwa belajar harus dijadikan energi positif untuk memahami dan mendorong aktualisasi diri secara aktif. Dengan budhiyoga, anak belajar mengontrol panca indra dan pikirannya. Budhiyoga juga memberi kesadaran tentang baik-buruk, benar-salah, pantas-tidak pantas, dan sebagainya. Memang tidak mudah mengontrol panca indra dan menguasai pikiran. Tetapi, melalui pelatihan dan disiplin, maka panca indra dapat diputus pada kedukaan. Mungkin ini yang dimaksud dengan samyoga viyogam, atau pemutusan dari kedukaan atau nestapa.

Buddhi bukanlah chitta. Buddhi memberi daya pembeda, sedangkan chitta hanya berupa kesadaran. Anak yang memiliki sedikit buddhi akan dikuasai oleh indria. Karena itu, dia akan selalu dalam situasi emosi yang resah, tidak pernah tenang. Dengan buddhi yang semakin tinggi, anak akan menjadi kreatif dalam membelajarkan diri. Dia mungkin tidak akan tergantung pada dorongan eksternal, seperti guru dan sejenisnya. Dia akan berupaya mengaktualisasikan kecerdasan intelektual (IQ), emosional (EQ), social (SQ), adversitas (AQ), ekologis (Ec.Q), dan spiritual (Sp.Q) untuk menciptakan suasana kondusif dalam meraih tujuan. Dengan membelajarkan diri secara kreatif, anak membentuk bayu, sabda, dan idep secara produktif. Inilah yang disebut vyavasayatmika buddhi (cultivated mind). Belajar memiliki inti, yaitu, mengontrol indra, menjaga komitmen diri, jiwa dan raga selalu aktif, menjadi samudra keinginan dan aliran air yang tidak pernah terhalang. Pada intinya, belajar berpusat pada menjadikan diri, ketimbang memperoleh sesuatu yang hanya bersifat permukaan. Semoga pemahaman yang benar tercapai oleh generasi krama Bali sekarang maupun di masa datang. *

Komentar