nusabali

Membunuh Pregina dengan Mik

  • www.nusabali.com-membunuh-pregina-dengan-mik

Pertanyaan yang acap kali muncul di kalangan pemerhati seni adalah, apakah mutu kesenian Bali semakin merosot? Seni pertunjukan, seni tari, misalnya, apakah malah kian bersinar dan semakin kinclong? Atau bisa jadi stagnan, jalan di tempat, mundur tidak, maju juga ogah.

Aryantha Soethama

Pengarang

Perbincangan semacam ini kian kerap sejak Bali mengenal seni kemasan. Lukisan, patung-patung, dibuat massal, bisa diperoleh dengan harga murah. Ada barang seni untuk kalangan berduit, bisa juga gampang diperoleh benda-benda seni untuk kalangan dengan kantong pas-pasan. Karya seni semakin marak, dan pertanyaan tentang mutu pun kian sering dilontarkan.

Banyak yang khawatir, mutu kesenian Bali melorot, tapi ada yang berkomentar, tak usah khawatir, orang Bali tahu mana seni untuk hiburan mana pula seni untuk mutu, karena Bali mengenal seni untuk persembahan. Jika hendak mencari seni bermutu, datanglah ke tempat seni persembahan itu digelar. Seni pertunjukan misalnya, yang bermutu hadir ketika piodalan.

Tapi tetap saja muncul kalangan yang pesimistis. Mereka berpendapat, seni persembahan pun kini sudah melorot. Para penari cuma mengenal unjuk tari, tanpa memikirkan mutu. Pada saat bersamaan muncul pembelaan, seni tari bermutu masih banyak bisa dijumpai di desa-desa. Sejak kesenian Bali dikaji, diteliti, secara akademis di perguruan tinggi seni, muncul banyak harapan, bahwa kesenian Bali tidak macet.

Dulu mutu kesenian tak pernah jadi persoalan, karena memang kesenian itu bermutu. Para penari ya menari, tidak peduli apakah tarian mereka dikemas buat khusus untuk ditonton. Para penari adalah orang-orang yang menjadi bagian dari komunitas mereka. Pregina (penari) adalah petani, menari di tengah kalangan kaum tani, sanak saudara dan kerabat. Interaksi yang terjadi adalah hubungan antar-petani, antar-orang desa, sehingga kalau menari ya mereka menari, jika melawak ya melawak. Yang melawak orang desa, petani, yang tertawa menikmati lawakan itu orang desa, petani juga.

Arja, prembon, pentas di arena tak begitu luas, sehingga penonton bisa jelas menatap mimik dan gestur penari. Para penonton yang duduk bersimpuh atau bersila di deretan depan bahkan bisa memegang pakaian penari. Suara tembang penari arja pun terdengar jelas, semakin merdu karena sekeliling pertunjukan sunyi, tidak diganggu deru motor lewat, tidak diusik suara televisi. Ketika itu seni tidak hanya ditonton, tapi juga diresapi.

Tontonan yang disuguhkan sesuai dengan tuntutan pertunjukan. Tak dikenal seni pertunjukan kemasan. Jika cerita menuntut berlangsung pentas enam jam, ya selama enam jam para pregina itu menari dan menghibur. Dulu pertunjukan arja atau prembon dimulai selepas pukul sepuluh malam dan acap berakhir setelah pukul empat dini hari. Begitu panjang, tapi tidak melelahkan karena penonton dan penari larut dalam kegembiraan.

Tapi zaman menuntut perubahan, ketika panggung semakin luas, seperti panggung Arda Chandra di Taman Budaya Denpasar, jarak penonton-penari kian jauh, sehingga gestur dan mimik pregina tidak lagi tertangkap penonton. Para kreator kemudian menciptakan tari kolosal yang lebih memukau, namun kehilangan kekuatan tari individu. Penonton dipaksa untuk menikmati komposisi dan blocking, tidak kemampuan tari, bukan kesanggupan individu penari. Berbeda dengan dulu, ketika seorang pregina menyuguhkan tari Trunajaya, Panji Semirang atau Oleg Tamulilingan, kemampuan individu yang prima menunjukkan kualitas si penari.

Boleh jadi tatkala kreativitas panggung lebih menjadi ciri kualitas garapan, komposisi dan blocking diutamakan, tidak banyak penari yang gigih menggali kekuatan individu. Toh yang diutamakan kekuatan kelompok, tari massal, keseragaman gerak. Itu mungkin sebabnya adegan-adegan dalam lakon Calonarang yang sangat digemari orang Bali, bondres, arja, para pregina tidak melakukan eksplorasi diri. Jika dulu, dalam arena pertunjukan yang kecil, para pregina arja menembang langsung, kini mereka menggunakan mikrofon, karena jangkauan penonton yang jauh, panggung yang luas pula.

Tata suara menjadi persoalan teknis. Para penari drama gong di Arda Chandra misalnya, jika berdialog akan mendekati mik yang tergantung dililitkan pada kabel yang berseliweran. Blocking jadi lucu dan genit, karena saban mau ngomong pregina pergi ke bawah mik yang tergantung agar vokal mereka bisa masuk ke pengeras suara. Belakangan para pregina menggunakan mik wireless dijepit di baju, sehingga mereka bisa leluasa bergerak di panggung.

Tampaknya mik wireless dijepit ini lumayan mahal, sehingga para pregina menggunakan mik yang lebih murah, dipegang dengan tangan. Ini menjadi adegan lucu dan tengal, karena para pregina menari sambil memegang mik. Adegan ini lazim dilakukan pregina bondres. Pernah terjadi seorang penari memegang keris di tangan kiri, mik di tangan kanan, hendak melakukan adegan membunuh. Ia salah pilih, menggunakan tangan kanan, sehingga ia menikam menggunakan mik. Penonton tertawa, si pregina tak menyadari kesalahannya. Yang ditikam roboh, tewas ditikam mik, tidak oleh keris.

Begitulah seni pertunjukan Bali belakangan ini, banyak yang meriah, menggugah, seru, mengocok perut, tapi acap kali tampil seadanya, gak terlalu peduli pada kepantasan, sehingga mutu terabaikan. *

Komentar