nusabali

MUTIARA WEDA : Struktur Inheren

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-struktur-inheren

Mengerjakan kewajiban sendiri walaupun kualitasnya tidak sempurna tetap lebih superior dibandingkan mengerjakan pekerjaan orang lain, meskipun dikerjakan sempurna. Lakukanlah pekerjaan yang diberikan kepadamu sebaik-baiknya dengan tidak mencoba mengerjakan pekerjaan orang lain yang mungkin tidak sesuai denganmu.

Sreyan svadharmo vigunah paradharma svanushthitah,

Svadharme nidhanam sreyah paradharmo bhaya vahah.
(Bhagavad-gita, III.35)

SLOKA di atas sudah tidak asing lagi, terutama bagi mereka yang suka membaca kitab suci. Secara sepintas kita juga bisa menangkap maknanya. Tidak ada hal luar biasa sepertinya, sebab hidup memang harus dan telah ditetapkan demikian. Mengerjakan pekerjaan kita sendiri merupakan sebuah kepastian. Setiap orang tahu itu dan telah melaksanakannya demikian. Seorang dengan profesi dokter tidak pernah kita lihat bertugas sebagai tukang parkir, demikian sebaliknya. Seorang jaksa tidak pernah mengerjakan pekerjaan sebagai tukang bangunan, demikian sebaliknya. Jadi, secara alami, mereka telah diarahkan untuk mengerjakan apa yang telah dipilih atau ditetapkan baginya.

Lalu apa signifikasi seruan teks di atas jika semua orang telah mengisi jalurnya masing-masing? Tidakkah teks di atas hanya sekadar informasi dan bukan merupakan sebuah formula bagi pengembangan kesadaran? Guna melihat ini, kita harus menggunakan paradigma teks Bhagavad-gita itu sendiri, bukan alur pikiran atau teori yang berkembang dari kesimpulan-kesimpulan atas apa yang tampak di permukaan. Kita tidak bisa mengaplikasikan teori apapun ke dalamnya untuk bisa memahaminya secara jernih. Kita harus masuk ke dalam teks itu sendiri dan ‘merasakan’ pesannya. Jika tidak, kita akan merusak struktur makna yang ada di dalamnya. Inilah yang kita lakukan sebenarnya dewasa ini atas nama penemuan yang bersifat saintifik atau modern.

Interpretasi yang diberikan sering menutupi makna inherennya dengan polusi pikiran-pikiran kita. Itulah mengapa kita merasa telah sukses memahami ajaran ini dan kemudian ‘memperdagangkannya’ kepada orang lain. Kita memaksakan pemahaman kita kepada teks itu sendiri. Kita menggunakan teks untuk menjustifikasi pikiran kita. Oleh karena demikian, tidak salah jika teks yang disucikan bisa dengan mudah dijadikan alat untuk menyerang makna aslinya. Radikalisme dan berbagai jenis kekerasan atas nama ideologi, terutama ideologi yang bersumber dari teks suci sebenarnya tidak lain hanya polusi pikiran yang menutup teks itu sendiri dan kemudian dijadikan alat efektif untuk menyerang dan menghancurkan makna inherennya. Apa yang terjadi? Hanya kehancuran, tidak ada yang lain. Ketika teks yang mengandung nilai inheren, yang adalah kosmos itu sendiri, kemudian terpolusi, maka, upaya apapun yang kita coba lakukan berdasarkan teks itu akan menuju kehancuran.

Mengapa? Kosmik punya realitasnya, dan realitas itu maha kuasa. Ketika kita kemudian melakukan hal yang berlawanan dengannya, meskipun tampak menggunakan realitas itu sendiri, kehancuran adalah sebuah kepastian. Atas dasar itulah, para tetua mengeluarkan beberapa peringatan, seperti misalnya ayuwewera, ‘takut dengan orang bodoh’ dan yang sejenisnya. Selain itu, teks akan langsung mengajak kita untuk melakukan sadhana, melepaskan semua keterikatan, fokus kepada ishvara, dan yang sejenisnya. Ini dilakukan semata-mata agar teks tidak terpolusi ketika diterapkan. Pikiran memiliki tendensi yang besar untuk mempolusinya. Bahkan karena terlalu besarnya pikiran memiliki tendensi untuk mempolusi ajaran, Krishna sampai mengatakan bahwa Dirinya sendiri akan turun dari zaman ke zaman. Manusia bersama pikirannya tidak bisa dipercaya untuk tetap komit dengan realitas.

Jadi, jika kita lihat dari paradigma ini, sepertinya, makna yang terkandung di dalamnya, tidak seperti apa yang tampak di permukaan, yang kembali ‘hanya’ dilihat melalui pikiran. Teks di atas sepertinya diperuntukkan bagi struktur pikiran kita yang penuh polutan. Teks di atas adalah bagian harmoni dari struktur pikiran kita. Ketika pikiran kita jernih, maka maknanya akan muncul dan menyatu dengan kita. Atas dasar inilah prinsip Jnana Yoga muncul. Jadi, seorang jnani bukanlah mereka yang telah banyak membaca dan menghafalkan semua atau sebagian besar kitab suci, melainkan mereka yang telah mampu menjadi satu dengan makna yang inheren di dalam teks itu. Dengan konteks ini, pesan yang disampaikan teks di atas sangat besar, dan saking besarnya, kita bahkan tidak mampu melihat signifikasinya.

I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta

Komentar