MUTIARA WEDA: Bagaimana Mestinya Bali Berkontribusi
evaṁ pravartitaṁ cakraṁ nānuvartayatīha yaḥ, aghāyur indriyārāmo moghaṁ pārtha sa jīvati. Bhagavadgītā 3.16
Dia yang hidup hanya untuk kenikmatan indria dan tidak mengikuti roda pengorbanan yang telah ditetapkan (cakra yajña), hidupnya sia-sia, wahai Pārtha.
BALI, budayanya unik, alamnya indah, orang-orangnya ramah, prinsip hidupnya selaras dengan alam, dan alam Bali sendiri mampu memberi healing bagi siapapun yang lagi terpapar duka. Makanya, banyak orang datang berwisata, banyak orang datang berinvestasi untuk pariwisata. Dalam konteks perputaran uang, Gubernur Bali menyebut bahwa dari devisa pariwisata nasional sekitar Rp 243 triliun, Bali menyumbang Rp 107 triliun atau sekitar 44 persen di tahun 2024. Diperkirakan, tahun 2025 akan mencapai Rp 160 triliun. Tentu ini positif. Selaras dengan teks di atas, roda pengorbanan (cakra yajña) Bali sangat luar biasa. Orang Bali secara umum, meskipun tidak menikmati fasilitas ‘mewah’ pariwisata (karena kemahalan), tetap memberikan kontribusi positif.
Itu salah satu kontribusi positif. Kontribusi kedua, Bali menyediakan tenaga profesional di bidang pariwisata (gardener, housekeeping, cleaning service, security, staf operasional, dan sejenisnya) membuat pariwisata berjalan dengan baik. Apakah itu sudah cukup? Tentu dalam konteks cakra yajña, Bali ingin berkontribusi lebih. Apa lagi yang memungkinkan? Pertama, dalam konteks tenaga kerja, semoga Bali bisa menyumbang lebih banyak high-skilled tourism professionals (manajer hotel dan resort, general manager (GM) atau executive chef, tour planner, travel consultant, marketing director pariwisata, event manager, destination manager, dosen atau peneliti bidang pariwisata, dan sejenisnya). Caranya? Ini mesti menjadi upaya jangka panjang pemimpin bersama pelaku wisata. Semoga.
Kedua, semakin banyak warga lokal yang menjadi pemilik usaha pariwisata (tourism business owners), pemilik hotel, vila, homestay, pemilik restoran, bar, café, pemilik travel agent, tour operator, pemilik spa, transportasi wisata (rental mobil, boat charter), pemilik perusahaan event organizer atau MICE, dan yang lainnya. Pemerintah dan seluruh komponen masyarakat Bali mesti memprioritaskan ini. Kontribusinya ini tidak hanya ke pusat, tetapi bisa lebih banyak ke kantong masyarakat Bali, sang penjaga tradisi. Bagaimana caranya? Dunia pariwisata mesti mengenalkan hal ini kepada seluruh orang Bali sejak masih kanak-kanak. Seperti misalnya, restoran yang omzetnya miliaran dan telah mendapatkan untung banyak, mulai berpikir sedikit filantropis, sebulan sekali mengundang anak anak SD dari sekitar wilayahnya untuk makan di restoran dan mengenalkan etika makan di restoran, mengapa mahal, dan bagaimana restoran itu berkembang; mengenalkan, menginspirasi, dan menanam benih positif ke anak. Setiap komponen mesti menjadi agen pendidik.
Hotel-hotel mewah di Bali yang telah meraup untung banyak dari Bali mesti memiliki kesadaran filantropis untuk berbagi dengan cara mengundang masyarakat Bali secara berkala untuk menginap (free, anggap sebagai CSR), sambil memberikan mereka inspirasi tentang cara hidup, cara kerja, dan gaya hidup orang kaya, sehingga masyarakat Bali memikili kesempatan paling tidak pernah merasakan fasilitas itu. Sehingga, kegiatan pariwisata mampu membangun feeling dengan orang-orang Bali, sekaligus menginspirasi masyarakat Bali. Tentu ini sangat filantropis. Namun, jika ingin pariwisata survive dan Bali survive, hal ini harus berjalan.
Jadi, dengan begini, pariwisata jangan sampai menyiratkan dan ‘mengajarkan’ ketamakan kepada masyarakat Bali. Bicara cakra yajña adalah bicara tentang Bali secara menyeluruh, tidak hanya masyarakat Bali yang memutarnya, sementara yang lain yang menikmati kue dari Bali tidak. Mari putar bersama!
Kontribusi tambahan lainnya yang ketiga mungkin lebih filosofis. Bali mesti mampu memberi support positif bagi perkembangan pariwisata di daerah lain di Nusantara. Tidak saja ikut membuka bisnis di sana, tetapi secara sadar ikut membina SDM di tempat itu untuk bisa berkembang. Membangun kesadaran bahwa kesejahteraan adalah untuk bersama, bukan untuk segelintir orang. Jadi, kegiatan pariwisata ini mesti berdampak pada kesejahteraan masyarakat seluas-luasnya. Jika semua itu bisa berhasil, maka kontribusi di bidang pariwisata menjadi purna. Paling tidak seperti itulah aplikasi lapangan teks di atas ‘dari sisi kontribusinya’, karena di dalamnya mampu melahirkan kaum filantropis, dan ini penting dalam roda kesejahteraan masyarakat. 7
Komentar