nusabali

Mengenal Tradisi Masalaran, Refleksi Budaya Agraris Warga Padang Luwih di Tengah Laju Alih Fungsi Lahan

  • www.nusabali.com-mengenal-tradisi-masalaran-refleksi-budaya-agraris-warga-padang-luwih-di-tengah-laju-alih-fungsi-lahan
  • www.nusabali.com-mengenal-tradisi-masalaran-refleksi-budaya-agraris-warga-padang-luwih-di-tengah-laju-alih-fungsi-lahan

MANGUPURA, NusaBali.com – Warga Desa Adat Padang Luwih, Desa Dalung, Kuta Utara, Badung tetap memegang teguh ritual Masalaran, sebuah tradisi yang tumbuh dari budaya agraris selama berabad-abad, meski zaman telah berubah dan lahan pertanian semakin menyempit dikepung perumahan.

Kelihan Desa Adat Padang Luwih I Ketut Adi Ardana, 56, menuturkan bahwa Masalaran lahir dari budaya pertanian yang dilaksanakan setiap Purnama Sasih Kapat seperti Senin (6/10/2025) sore. Tradisi ini masih berkaitan dengan tradisi Nedunin Dewa Nini yang dilakukan enam bulan sebelumnya yakni Purnama Sasih Kadasa.

“Purnama Kadasa itu adalah dimulainya masa bercocok tanam. Di hari itu pula kami ada tari sakral Sanghyang Sengkrong yang ringkasnya bercerita tentang penaburan benih. Nah, Sasih Kapat ini setelah masa panen,” tutur Adi Ardana ketika ditemui di Pura Desa lan Puseh Desa Adat Padang Luwih, Senin siang.

Rasa syukur kepada Dewi Sri atau Dewa Nini atas hasil panen tersebut diungkapkan melalui tradisi Masalaran. Setiap Purnama Kapat, warga adat dari enam banjar di Desa Adat Padang Luwih yakni Banjar Kwanji, Gaji, Pendem, Jeroan, Celuk, dan Tegal Jaya mempersembahkan soda pangusaban ke Pura Desa lan Puseh tepatnya di Palinggih Bale Agung yang berada di madya mandala.

Kata Kelihan Adat Adi Ardana, soda pangusaban merupakan sesaji dengan komponen utama berupa salaran atau simbol hasil bumi. Salaran tersebut terdiri dari wakul tumpeng dua, rerasmen, tebu, pisang, jajanan begina, tipat sirikan dan bantal daha akelan (enam buah), sampian matangga, serta panyeneng alit.

“Setiap kepala keluarga adat mempersembahkan ini ke Bale Agung pada Purnama Kapat sore. Setelah diupacarai dan dilaksanakan persembahyangan, persembahan warga tersebut lantas kalungsur dan dinikmati bersama dengan cara magibung," beber Adi Ardana.

Kata Adi yang juga eks Kelihan Adat Banjar Gaji, dahulu hasil persembahan warga dibagi sejumput-sejumput (masiagan) untuk dinikmati bersama. Namun, belakangan, Desa Adat Padang Luwih menyulap momen kebersamaan warga adat tanpa sekat ini dengan tradisi magibung disertai menu tambahan yang dipersiapkan bersama.

Setelah tradisi magibung tuntas, sejumlah warga adat yang didominasi yowana keluar ke margi agung (jalan raya) di depan Pura Desa lan Puseh Desa Adat Padang Luwih, serta membentuk dua kelompok. Kelompok pertama berada di sisi utara memakai selendang hitam dan satu lagi di sisi selatan mengenakan selendang merah.

Massa dengan selendang hitam melambangkan energi Dewa Wisnu, sang pemelihara sekaligus penguasa arah utara. Sedangkan, yang memakai selendang merah merepresentasikan energi Dewa Brahma sekaligus dewata penguasa arah selatan.

“Komponen tipat dan bantal di dalam soda yang dipersembahkan warga tadi itu dikeluarkan dan diserahkan ke warga kami yang menjadi pamilet (peserta) matimpugan atau perang tipat bantal di margi agung Pura Desa lan Puseh saat sandya kala,” ujar Adi Ardana.

Kata Adi, setelah warga mengucap syukur kepada Dewi Sri sebagai dewi kemakmuran di Bale Agung, ritual matimpugan tipat bantal ini dilaksanakan agar masa tanam selanjutnya tidak mengalami paceklik. Sebab, tipat dan bantal merupakan lambang kesuburan di mana tipat adalah simbol pradana (feminin) dan bantal merupakan simbol purusa (maskulin). 


Komentar