Genggong Kutus Desa Batuan Diundang ke Taiwan
GIANYAR, NusaBali - Sanggar Tabuh Genggong Kutus di bawah asuhan seniman karawitan I Nyoman Suwida diundang pentas ke Taiwan. Diundang sebagai seniman unggulan dalam International Jews Harp Forum 2025: Proyek Pertukaran Keberlanjutan Budaya Taiwan dan Asia Tenggara yang berlangsung di Kabupaten Miaoli, Taiwan, pada 26-28 September 2025. Forum internasional bergengsi ini mempertemukan seniman, peneliti, dan komunitas adat dari Asia Tenggara, Taiwan, hingga Amerika Serikat.
Mereka akan berdiskusi, berbagi pengetahuan, dan menampilkan seni budaya terkait instrumen harpa mulut, termasuk genggong Bali yang unik dengan suara mirip katak. Undangan ini datang berdasarkan rekomendasi dari mahasiswa, musisi, dan peneliti yang pernah belajar genggong pada Suwida. “Kami merasa sangat terhormat bisa mengikuti forum itu. Konsepnya pelestarian. Tanggal 25 September kami berangkat,” ujar Suwida penuh semangat, Senin (15/9).
Di Taiwan, tim berjumlah sepuluh orang penari merangkap penabuh akan memperkenalkan cara membuat genggong. Mereka membawa alat pahatan hingga pupug (pelepah enau pilihan) sebagai bahan utama. Mereka juga menyiapkan workshop tari kecak dan tari genggong yang mengisahkan cerita Pangeran Kodok menemukan cinta sejati. Namun, di balik kebanggaan itu, Suwida menyimpan rasa haru. Di Indonesia belum pernah ada forum alat musik harpa mulut. Belum pernah ada perhatian khusus dari instansi pemerintah daerah terhadap instrumen genggong.
Sejak tahun 2014, Suwida mendirikan Sanggar Tabuh Genggong 8 (Kutus). Angka delapan dipilih sebagai simbol keberlangsungan, harapan agar genggong tidak pernah putus meski kadang berada di atas atau bawah. Kini, komunitasnya memiliki sekitar 25 anak didik, masing-masing dibekali satu genggong untuk latihan. Baginya, pemberian alat sekaligus transfer teknik adalah investasi masa depan. “Saya yakin genggong ini punya ciri khas yang bisa memikat siapa pun yang mendengarkan, terutama pecinta karawitan. Orang asing sangat mengapresiasi genggong, jadi saya ingin ini tetap lestari,” ucapnya.
Perjalanan Suwida dengan genggong tidak mudah. Dia mengenang masa 1990-an, saat drama tari Godogan ramai dipentaskan dari hotel ke hotel, bahkan bisa sampai empat kali dalam seminggu. Namun, setelah Bom Bali I dan II hingga pandemi Covid-19, pentas nyaris hilang. Untuk bertahan, Suwida beralih ikut lomba, membuat siaran langsung di media sosial, hingga tampil di festival internasional, salah satunya di Amsterdam. Keikutsertaan dalam forum internasional menjadi momentum penting bagi Suwida dan komunitasnya. Dia berharap pengalaman di Taiwan dapat menjadi angin segar sekaligus bukti bahwa genggong masih relevan dan layak dilestarikan. 7 nvi
Komentar