nusabali

DPRD akan Perketat Penegakan Perda Tata Ruang

Akademisi Soroti Alih Fungsi Lahan Capai 1.700 Ha per Tahun

  • www.nusabali.com-dprd-akan-perketat-penegakan-perda-tata-ruang

DENPASAR, NusaBali - Banjir besar yang melanda sebagian wilayah Bali pada, Rabu (10/9) menyebabkan jatuhnya korban jiwa, bangunan ambruk, pasar tergenang, kendaraan hanyut, hingga jembatan jebol.

Hal ini pun menjadi perhatian serius DPRD Bali. Pada, Jumat (12/9) siang, Panitia Khusus (Pansus) Tata Ruang, Aset, dan Perizinan (TRAP) menggelar rapat di lantai II Gedung DPRD Bali untuk membahas penegakan Peraturan Daerah (Perda) terkait tata ruang, perizinan, dan pengelolaan aset.

Rapat yang dipimpin Ketua Pansus, I Made Supartha bersama anggota dewan lainnya ini juga menghadirkan berbagai pakar lintas disiplin. Hadir di antaranya Tim Terpadu Penanganan Perusakan Ekosistem Danau, Mata Air, Sungai, Laut, dan Gunung Pemprov Bali Prof Dr I Ketut Sukawati Lanang Putra Perbawa, Prof Dr Ida Bagus Wyasa Putra, dan Prof Dr Ir Putu Rumawan Salain. Jajaran eksekutif juga hadir, mulai dari Kepala BPKAD Bali, Kepala Biro Hukum Setda Bali, kelompok ahli bantuan hukum, serta tim pakar DPRD Bali.

Dalam rapat tersebut, para guru besar, pakar dan anggota pansus yang hadir memberi masukan terkait kondisi tata ruang di Bali. Pansus menegaskan akan menindaklanjuti persoalan ini dengan merekomendasikan langkah konkret. “Pasca banjir ini, Pansus akan mengaktualisasikan, nanti merekomendasikan terkait pengaturan tata ruangnya, aplikasinya, juga mengenai izin-izinnya. Jangan sampai ke depan terjadi lagi banjir. Ini untuk kepentingan Bali dan masyarakat Bali,” ujar Supartha yang juga anggota Komisi I DPRD Bali ditemui di sela-sela rapat. Ia menjelaskan, masukan dari akademisi akan diperdalam melalui diskusi bersama organisasi perangkat daerah (OPD) terkait. Tujuannya, agar ke depan ada solusi menyeluruh dalam tata ruang, izin, maupun aset daerah. 

Dalam pembahasan, Supartha menyoroti bencana yang terjadi ini bukan semata-mata akibat curah hujan tinggi, melainkan karena kesalahan dalam pengaturan tata ruang. “Curah hujan saya kira itu bukan alasan. Tapi sekarang yang menjadi pemikiran kita bagaimana menata ruangnya. Cara-cara subak dulu, kemudian drainasenya bagaimana, kemudian aliran air dari hulu sampai hilir itu kita fungsikan kembali secara baik,” tukasnya.

Para pakar juga menekankan kepada Pansus perlunya normalisasi saluran air dari hulu ke hilir menjadi hal mendesak agar sistem drainase mampu menampung debit air secara optimal saat musim hujan. Selain tata ruang, alih fungsi lahan juga disebut menjadi salah satu faktor utama penyebab banjir. Disinggung apakah praktik ini hanya terjadi di Kabupaten Badung saja atau sampai hingga ke Denpasar, ia mengatakan Pansus akan melakukan pengecekan langsung ke lapangan terkait hal itu dan mencari data-data kongkretnya. “Nanti kita cek lapangan, alih fungsi lahan di kawasan kabupaten/kota yang ada, kita cek. Pansus ini nanti akan bekerja untuk itu,” tambah Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Bali ini.

Senada dengan itu, Prof Wyasa Putra turut menyoroti praktik alih fungsi lahan salah satu penyebab kerusakan tata ruang dan bencana banjir. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Universitas Udayana (Unud) ini menilai fenomena ini tidak lepas dari tuntutan investasi yang terus berkembang. Menurutnya, investasi memang membawa manfaat besar, terutama dalam membuka lapangan pekerjaan serta memberikan efek berganda bagi masyarakat. Namun, pertumbuhan investasi yang mengarah pada pemakaian ruang secara horizontal dinilai mempersempit lahan produktif. 

“Ini kan tuntutan investasi ya. Kemudian investasi itu membuka lapangan pekerjaan. Jadi banyaklah dapat multiplier-nya yang bermanfaat bagi masyarakat. Nah, tetapi kan kemudian dia membutuhkan ruang yang lebih luas. Nah, ini kan kita kebanyakan di Bali ini kalau investasi itu transformasinya horizontal ke samping,” tutur pakar Hukum Ekonomi Internasional ini. Sebagai alternatif, ia mengusulkan agar pemerintah mulai memikirkan kebijakan pembangunan vertikal dengan mengatur ketinggian bangunan. Namun, hal itu perlu dilakukan secara hati-hati dengan syarat ketat agar tidak merusak karakteristik lanskap Bali yang menjadi identitas budaya pulau ini. 

“Ya mungkin pemerintah provinsi mulai perlu memikirkan, mengevaluasi mengenai ketinggian bangunan, tapi dengan persyaratan yang sangat ketat supaya tidak sampai berdampak terhadap lanskap budaya Bali,” usulnya seraya menambahkan, pengaturan ketinggian bangunan sebenarnya bisa diukur dengan jelas dan ditentukan syarat serta batasnya secara ketat. Dengan begitu, kebutuhan investasi tetap bisa terakomodasi tanpa mengorbankan ciri khas budaya dan tata ruang Bali.

Prof Rumawan Salain mengatakan senada dengan hal tersebut. Kata dia, Bali kini mencapai angka yang mengkhawatirkan. Dia menyebut rata-rata 1.700 hektare lahan setiap tahun beralih fungsi, dengan konsentrasi terbesar terjadi di Denpasar, Badung, dan Gianyar. Dari jumlah itu, sekitar 400 hingga 500 hektare berada di wilayah Denpasar. Derasnya arus investasi menjadi pemicu utama pergeseran fungsi lahan. Namun, pola pembangunan yang terlalu terpusat di kawasan tertentu memperparah masalah. “Solusi yang kita harapkan sebenarnya adalah meratakan pembangunan di seluruh Bali. Membawa magnet-magnet pembangunan ke kabupaten lain, bukan hanya terpusat di Denpasar atau Badung,” ujarnya. Ia menilai mahalnya harga tanah di kawasan perkotaan sebenarnya turut membuat investor kesulitan mengembalikan modal, sehingga pemerataan pembangunan menjadi langkah strategis. Namun, pemerataan tersebut harus ditopang infrastruktur yang memadai dan terintegrasi dengan tata ruang.

Prof Rumawan juga mengingatkan perencanaan tata ruang di Bali kerap terputus akibat transisi cepat dari kota-kota tradisional menuju modernisasi pasca pembangunan Bali Beach Hotel dan Bandara Ngurah Rai. “Kita tidak siap bertransformasi dari tradisi ke modern. Akibatnya, jika tidak segera diperbaiki, beban ini akan diwarisi anak cucu kita dan risikonya akan lebih berat,” katanya. Sebagai arsitek, ia juga mengingatkan pentingnya perhitungan daya tampung air hujan dalam perencanaan tata ruang. Menurutnya, Bali selama ini gagal mengantisipasi kapasitas tampungan sehingga selalu kewalahan menghadapi curah hujan. Ia menekankan perlunya zonasi yang jelas, termasuk kawasan yang harus dilindungi sebagai warisan budaya.

Ia menekankan, daya tampung air hujan seharusnya dihitung secara konkret untuk mencegah bencana banjir tahunan. Selain tata ruang dan zonasi, Prof Rumawan menyoroti pentingnya menjaga warisan budaya (heritage) yang selama ini justru menjadi salah satu daya tarik utama Bali di mata dunia. Menurutnya, ruang-ruang budaya harus dipelihara agar tetap memberi manfaat ekonomi sekaligus menjaga identitas Bali.

Sementara dari aspek hukum, Prof Lanang menekankan pentingnya keselarasan persepsi antara pemerintah pusat, daerah, hingga desa adat dalam penegakan aturan. Tantangan yang dihadapi saat ini, kata dia, adalah adanya perbedaan tafsir terhadap izin sempadan sungai atau pantai. “Kalau persepsi tidak sama, aturan juga akan dijalankan berbeda-beda. Apalagi sekarang investasi sudah masuk ke wilayah desa adat, ini yang rawan bila tidak ada kesepahaman,” sebut Guru Besar Bidang Hukum Pemilu, Universitas Mahasaraswati (Unmas) Denpasar ini. 7 tr

Komentar