nusabali

Bawakan Sendratari “I Ratu Ayu Mas Membah/Wiwiting Amerta”

  • www.nusabali.com-bawakan-sendratari-i-ratu-ayu-mas-membahwiwiting-amerta

Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar bakal memeriahkan Gelar Seni Akhir Pekan (GSAP) Bali Mandara Nawanatya II Tahun 2017 dengan membawakan sendratari “I Ratu Ayu Mas Membah/Wiwiting Amerta” di Panggung Terbuka Ardha Candra, Taman Budaya Bali, Jumat (6/10) malam ini. 

IHDN Denpasar Meriahkan Bali Mandara Nawanatya

DENPASAR, NusaBali
Sejumlah persiapan pun telah dilakukan, termasuk gladi resik yang dilakukan Kamis (5/10) kemarin. Pementasan ini mengisahkan tentang Gunung Tampuh Hyang, dimana berstana Ida Bhatari Batur yang bergelar I Ratu Ayu Mas Membah. Suatu ketika, I Ratu Ayu Mas Membah dan putranya bernama I Ratu Gede Nengah sedang berbincang tentang amanat ayahandanya bernama Dewa Indra yang berstana di Tirta Empul. Amanatnya yang harus segera dilaksanakan adalah sebuah perintah agar I Ratu Ayu Mas Membah segera membagikan Tirta (Air) Mampeh kepada masyarakat Bali dengan cara menjualnya. Tirta ini jangan sampai diberikan secara cuma-cuma.

Mendengar hal itu, I Ratu Gede Nengah merasa keberatan kalau ibunya harus berdagang menjajakan air kepada masyarakat. Apalagi paras ibunya cantik dan kemayu. Sang putra khawatir akan terjadi sesuatu pada ibunya. Akhirnya ia menawarkan diri untuk menjual air kepada masyarakat. Tapi ibunya menolak. Mengingat amanat Dewa Indra yang mengutusnya untuk melakukan tugas mulia ini, sang ibu lalu berniat mengubah wujudnya menjadi seorang nenek renta yang sangat menjijikkan, sehingga ide itu disetujui oleh putranya.

Dalam perjalanan menjajakan air, banyak hal telah terjadi. Menyisakan banyak cerita yang melatarbelakangi nama-nama tempat dan desa-desa di Bali sampai sekarang. Seperti Desa Blandingan, Pura Puseh Meneng, Munti Gunung, Pura Pangojongan, Tejakula, Bon Dalem, dan lainnya. Hingga pada akhirnya beliau kembali ke Tampuh Hyang.

Rektor IHDN Denpasar, Prof Dr Drs I Nengah Duija MSi, mengatakan pementasan ini diangkat dari tradisi lisan tentang air yang berbicara tentang bagaimana peran air dalam kehidupan ini. “Yang ingin dipesankan dalam pementasan ini bahwa air tidak hanya saja sekadar pemberian dari Tuhan.  Tapi juga harus berjuang untuk bisa memelihara air, memperoleh air, dan juga menggunakan air,” ungkap Rektor Duija yang ikut menyaksikan gladi tim kesenian IHDN Denpasar, kemarin.

Dari cerita ini, kata Rektor Duija, berkembang bagaimana tradisi-tradisi ini memunculkan daerah-daerah seperti Tirta Manik Muncal, Toya Mampeh, kemudian kekeringan di Munti Gunung, Desa Blandingan, Pura Puseh Meneng, Pura Pangojongan, Tejakula, Bon Dalem, dan lainnya. Air tidak saja merupakan pemberian, namun juga perjuangan. “Artinya air itu mestinya bukan persoalan diberi oleh Tuhan tetapi kita harus berjuang bagaimana memelihara air itu supaya kehidupan manusia bisa tetap berlangsung. Karena kita lahir dari air. Hidup tanpa air juga tidak bisa, dan mati kitapun sebenarnya air yang menyelesaikan,” terangnya.

Di Bali sendiri, menurut Rektor Duija, air vital bagi agama dan kehidupan. Agama Hindu di Bali sendiri disebut juga sebagai agama Tirta. Sehingga tirta (Air) dalam kehidupan Agama Hindu di Bali sebenarnya merupakan hal yang substansial. “Ada Dewa Air, tetapi jangan dewanya saja yang dipuja. Melainkan fisiknya yaitu air itu sendiri harus dipelihara dengan baik. Begitu juga gunung-gunung sebagai sumber air jangan dijadikan objek untuk pengembangan industri yang justru menghilangkan potensi air. Jadi pemeliharaan air secara fisik dan spirit harus saling berkoneksi,” imbuhnya.

Masyarakat Bali juga telah membangun kearifan lokal dalam menjaga keberlangsungan air. Baik dilakukan dari segi agama maupun sosial budaya. Contohnya, tradisi Mapag Toya dalam tradisi pertanian. Kemudian ada juga upacara Danu Kertih atau Samudra Kertih.

Sementara Koordinator Pementasan sendratari ‘I Ratu Ayu Mas Membah/ Wiwiting Amerta’, Dr Drs Ida Bagus Gede Candrawan MAg, mengungkapkan, pementasan tersebut mengerahkan sedikitnya 300 orang, baik penari maupun penabuh. “Seniman yang terlibat di sini merupakan gabungan dari 11 fakultas yang ada di IHDN Denpasar. Kebanyakan di sini adalah junior yang memiliki potensi seni. Kami libatkan mereka agar terus diasah kemampuannya,” katanya.

Melalui pementasan ini, IB Candrawan berharap pesan yang disampaikan dapat diterima oleh masyarakat. Sekaligus apa yang ditampilkan bisa menjadi hiburan bagi penonton yang menyaksikan. Ke depan, bila dilibatkan lagi, IHDN Denpasar siap tampil kembali tentu dengan garapan yang baru. *in

Komentar