nusabali

Untuk Apa Berkesenian?

  • www.nusabali.com-untuk-apa-berkesenian

LEPAS dari sejauh mana sudah pencapaian Pesta Kesenian Bali (PKB), seberapa mutu yang sudah direngkuh setelah 47 kali penyelenggaraan, orang Bali pasti bangga punya PKB.

Ini pesta kesenian yang tidak gampang ditiru oleh provinsi lain, karena sangat kental menampilkan seni tradisi. Seakan-akan di Bali cuma ada seni tradisi, tak ada yang lain. Kalaupun ada yang beda, yang terasa baru, itu tetap saja hasil utak-atik dari seni tradisi.

Siapa saja yang rajin ke PKB pasti merasakan apa saja yang menjadi primadona pesta kesenian ini. Dalam seni pertunjukan, sendratari pernah menjadi idola. Kemudian gong kebyar, yang karena dilombakan antar-kabupaten menghasilkan fanatisme luar biasa dan telak. Penonton berteriak, bersorak, menggelorakan yel-yel seperti pertandingan sepakbola klub idola. Drama gong juga, puya fans berat, pernah menjadi primadona PKB. Seni lain, arja, gambuh, prembon, kriya, seakan menjadi seni pinggiran.

Maka wajar jika banyak yang bertanya-tanya, untuk apa sesungguhnya masyarakat Bali berkesenian? Buat pelipur lara? Untuk nampang? Atau demi popularitas? Adakah mereka berkesenian untuk hiburan semata? 

Ada yang mengatakan masyarakat Bali berkesenian sudah begitu adanya, mengalir deras, karena seni adalah hidup itu sendiri. Namun ada juga yang berteori, orang Bali berkesenian sebagai persembahan kepada Tuhan. Kesenian adalah sebuah sikap sujud. Karena itu seni apa pun di Bali, termasuk yang ditampilkan dalam festival seperti PKB, selalu membawa-bawa religiusitas. 

Dalam seni pertunjukan misalnya, sebelum pementasan selalu dihaturkan sesaji, sebuah daksina. Seni janger yang sering jenaka, atau joged yang penuh canda, pun tak bisa lepas dari suasana suci, dengan harum dupa, kepulan kemenyan, dan percikan tirta. 

Karena seni pada mulanya persembahan untuk Sang Pencipta, maka dulu tak ada seni yang diperjualbelikan. Arja, topeng, wayang kulit, selalu bisa dinikmati gratis ketika ada upacara di pura. 

Tapi para dalang kemudian diminta menggelar wayang oleh orang-orang yang punya hajatan atau bayar kaul. 

Semula dalang dan rombongan hanya menerima makanan dan lawar beserta daging yang diantar ke rumah si dalang. Lama-lama dalang juga menerima uang. Wayang kulit, kendati ketika digelar penonton tak bayar karcis, namun tak lagi sepenuhnya gratis. Ada maecenas seni yang berani keluar uang banyak untuk menanggap wayang.

Tatkala pariwisata mulai merambah, muncul seni kemasan yang sepenuhnya menuntut bayaran. Kelompok kesenian mulai mengenal dollar, pentas di hotel, namun dibayar murah. Orang Bali mulai terbiasa menerima kenyataan, kesenian mereka bisa mendatangkan duit dan tak mesti selalu gratis.

Tapi tak sepenuhnya orang Bali bisa menerima secara total kenyataan bahwa seni yang semula untuk persembahan kepada Hyang Widhi, karena itu harus gratis, kini mulai bisa diperjualbelikan. Maka seni yang membayar itu mereka yakini semata-mata untuk turis. Mereka tak bisa menerima jika ada seni pertunjukan tradisi untuk menontonnya harus bayar. 

Namun orang Bali anti seratus persen bayar tiket untuk menonton pertunjukan juga tak sepenuhnya benar. Di masa kejayaan drama gong, orang-orang desa bahkan dengan senang merogoh kocek untuk membeli tiket pertunjukan. Bahkan ada pementasan drama gong yang menggunakan tiket terusan karena di desa itu digelar beberapa sekaa drama gong. Tiket sold out.

Drama gong memang telah mematahkan kesan bahwa orang Bali itu hanya suka menonton yang gratisan. Tapi drama gong digelar biasanya dikaitkan dengan penggalian dana untuk membangun pura atau bale banjar, sehingga orang-orang merasa wajib membeli tiket. Di Taman Budaya Denpasar sering digelar pertunjukan drama gong berbayar, sebelum seni panggung ini redup digilas tontonan sinetron di televisi.

Dalam PKB tahun ini drama gong kembali bersinar. Tidak semata karena ia dirindukan, tapi lebih karena heboh tentang setuju dan menolak tampilan pregina yang suka melontarkan sumpah serapah dan kata-kata kasar di panggung. Perdebatan ini menjadi bukti, betapa cinta dan sayang orang Bali pada kesenian yang mereka miliki. 7 

Komentar