Wayang Memudar, Penabuh Gender Berkibar
Gamelan Gender Wayang dan seni pertunjukan Wayang Kulit merupakan pasangan tak terpisahkan dalam sebuah tradisi estetika Bali. Keduanya bagaikan tubuh dan jiwa dari satu sistem seni pertunjukan yang disebut sebagai puncak kecanggihan teater klasik Nusantara.
Kini, di Pesta Kesenian Bali (PKB) Gender Wayang sebagai ansambel gamelan tua yang dahulu cenderung eksklusif dan sulit dikuasai, melesat sebagai tontonan favorit. Ia bukan hanya digemari, tetapi juga dipelajari secara luas oleh anak-anak dan remaja Bali dari berbagai pelosok daerah. Lomba Gender Wayang tingkat anak-anak yang secara konsisten dipentaskan dalam PKB menjelma menjadi katalis pewarisan budaya yang efektif. Sebaliknya, Wayang Kulit—seni yang justru menjadi sebab utama eksistensi gender wayang—tampak semakin tersisih. Ia hanya hadir di ruang-ruang ritual, stagnan dalam inovasi, dan semakin kehilangan peminat sebagai pertunjukan publik. Pertanyaannya, mengapa iringan yang semestinya pelengkap justru melejit, sementara esensinya (Wayang Kulit) tenggelam?
Gender Wayang hari ini tampil membanggakan. Di bawah sorotan panggung PKB, anak-anak usia belia dengan lincah mengalunkan gending-gending klasik seperti “Sekar Sungsang” atau “Bima Kroda”. Teknik permainan yang rumit, harmoni yang kompleks antara pemade dan kantil, dan keindahan musikalitasnya menjadi daya tarik tersendiri. Tangan-tangan mungil itu tak hanya menunjukkan kemampuan teknis, tetapi juga menunjukkan bahwa seni tradisi tidaklah mati di tangan generasi digital. Ini menunjukkan keberhasilan pendekatan pembinaan yang tepat sasaran, yakni lomba, eksibisi, pengkaderan berjenjang, dan dukungan komunitas seni yang aktif. Gender wayang yang semula hanya dikenal di ruang-ruang sakral dan ritual kini tampil populer dan aktual, bahkan menjadi simbol kemajuan pelestarian karawitan Bali.
Namun sayangnya, keberhasilan gender wayang tidak dibarengi dengan kebangkitan seni wayang kulit itu sendiri. Ironi ini menyentuh titik-titik problematik yang lebih dalam. Seni pedalangan wayang kulit merupakan seni total, yaitu dalang dituntut menguasai sastra, musik, rupa, tari, narasi, dan sekaligus performa tubuh. Ia adalah seniman multitalenta yang memainkan puluhan tokoh dengan ragam karakter, menuturkan kisah dengan struktur dramatik, menyanyikan tembang klasik, dan menggerakkan panggung dua dimensi itu dengan kaki, tangan, dan suara. Kompleksitas ini, alih-alih mengangkat wibawanya, justru menyulitkan regenerasi. Di era serbacepat dan instan, generasi muda cenderung memilih jalur ekspresi yang lebih sederhana dan cepat dipelajari. Jadilah seni pedalangan semakin ditinggalkan, dalang menjadi “manusia langka”, dan pertunjukan wayang kulit kehilangan daya pikatnya di tengah masyarakat Bali.
Jika dilihat dari perspektif estetik, perbedaan nasib antara gender wayang dan wayang kulit terletak pada bentuk mediumnya. Gender wayang adalah seni musik, yang secara mandiri dapat dinikmati tanpa narasi atau visual. Nada-nadanya menenangkan, repetisi dan ornamentasinya menimbulkan efek meditatif yang sangat sesuai dengan suasana kontemplatif maupun edukatif. Ia mudah direkam, diajarkan, dan dipentaskan. Sementara wayang kulit adalah seni naratif-visual yang menuntut penonton untuk memiliki tingkat perhatian dan apresiasi yang lebih tinggi. Dalam suasana sosial yang kian tergesa dan visual yang kian eksplisit diwarnai gawai dan hiburan digital, seni bayang-bayang yang bersifat simbolik dan imajinatif ini semakin sulit dipahami. Penonton tidak lagi punya waktu atau minat untuk menonton pertunjukan selama tiga atau empat jam, apalagi menyimak pesan moral yang dibungkus dalam bahasa sastra klasik.
Dari sudut pandang sosial, fenomena ini mencerminkan perubahan besar dalam budaya menonton dan selera publik. Dulu, sebuah pagelaran wayang kulit adalah peristiwa penting dalam kalender sosial masyarakat. Orang-orang berkumpul, mendiskusikan lakon, mengaitkan kisah dengan realitas hidup. Tapi kini, pertunjukan wayang tidak lagi menjadi pusat interaksi sosial. Masyarakat lebih terpikat oleh bentuk hiburan modern yang cepat, visual, dan bisa dinikmati secara personal. Media sosial, televisi, dan YouTube telah mengubah paradigma konsumsi seni. Di tengah terpaan budaya pop global, wayang kulit tampak terlalu lambat, terlalu dalam, dan terlalu kuno. Hal ini tentu menyedihkan, karena bukan hanya seni yang hilang, tetapi juga nilai-nilai filosofis dan kultural yang dikandungnya.
Sementara dari sudut religius, meskipun wayang kulit masih memiliki fungsi ritualistik, terutama dalam upacara keagamaan seperti Dewa Yadnya dan Pitra Yadnya, kehadirannya semakin terbatas pada fungsi simbolik semata. Artinya, ia hanya dibutuhkan untuk memenuhi tuntutan adat, bukan lagi sebagai ruang ekspresi artistik yang hidup. Ritual menjadi pelindung terakhir wayang kulit dari kepunahan total, namun bukan wadah yang memungkinkan inovasi dan perkembangan. Sebaliknya, gender wayang justru berkembang dalam dua ruang: ritual dan profan. Ia dapat hadir dalam upacara, dapat pula menjadi bagian dari konser, lomba, hingga pementasan seni. Fleksibilitas inilah yang membuatnya survive dan bahkan unggul dalam konstelasi seni Bali modern.
Dalam tinjauan kultural, kesenjangan ini mengindikasikan bahwa upaya pelestarian seni tradisi tidak bisa dipukul rata. Setiap bentuk seni memiliki kebutuhan dan tantangannya masing-masing. Gender wayang yang berhasil dikembangkan melalui jalur edukatif dan kompetitif terbukti mampu membangun basis peminat baru. Wayang kulit membutuhkan strategi yang jauh lebih kompleks. Pelatihan dalang tidak cukup dilakukan sesekali; ia butuh inkubasi panjang, pendampingan serius, dan insentif sosial yang memadai. Tidak cukup hanya dengan menggelar lomba dalang cilik. Harus ada sistem berjenjang dan komunitas yang mendukung ekosistem pedalangan. Perlu dibuat pusat-pusat belajar wayang dengan pendekatan kekinian, misalnya menyinergikan wayang kulit dengan teknologi digital, menyederhanakan durasi pementasan, atau menampilkan lakon-lakon baru yang menyentuh realitas anak muda hari ini.
Pemerintah daerah dan lembaga adat perlu bersinergi bukan hanya menjaga kontinuitas, tetapi juga membangun relevansi. Jangan sampai yang diwariskan hanya bentuk, tetapi rohnya mati. Sementara itu, seniman dan komunitas budaya mesti berani bereksperimen untuk menghidupkan kembali pesona wayang kulit. Bisa jadi, lewat sinema bayangan pendek, kolaborasi lintas seni, atau adaptasi cerita-cerita modern dalam format klasik, wayang kulit bisa menemukan kembali relevansinya. UNESCO boleh mengakui wayang sebagai warisan agung dunia, namun jika masyarakatnya tidak lagi merasa memiliki, maka pengakuan itu hanya jadi plakat tanpa jiwa.
Akhirnya, kita harus menyadari bahwa gender wayang dan wayang kulit bukan dua dunia yang terpisah. Melejitnya gender wayang harusnya menjadi pintu masuk untuk mengangkat kembali seni wayang kulit. Musiknya yang indah semestinya tidak berhenti menjadi hiburan mandiri, tetapi kembali mengiringi narasi-narasi agung dalam bayang-bayang wayang. Di sinilah tugas kita bersama: menyatukan kembali tubuh dan jiwanya. Jika gender wayang adalah nadinya, maka wayang kulit adalah detak jantungnya. Tanpa wayang, gender hanyalah musik yang kehilangan cerita. Tanpa gender, wayang hanyalah bayang-bayang yang bisu. Sudah saatnya kita memulihkan keharmonisan keduanya, agar Bali tetap berdiri sebagai tanah seni yang tidak hanya lestari, tapi juga hidup dan menyala.*
Komentar