Kajati Resmikan Bale Kertha Adhyaksa Ke–9 di Bali
Integrasi Hukum Adat dan Nasional Diperkuat
DENPASAR, NusaBali - Kota Denpasar resmi menjadi wilayah ke-9 di Bali yang memiliki Bale Kertha Adhyaksa.
Lembaga kolaboratif yang mengintegrasikan kearifan lokal (living law) dengan hukum nasional (positive law), dalam upaya penyelesaian sengketa berbasis nilai budaya dan adat ini, diresmikan oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali bertempat di Gedung Dharma Negara Alaya, Denpasar Utara, Jumat (13/6).
Kepala Kejaksaan Tinggi Bali Dr Ketut Sumedana dalam sambutannya menyampaikan apresiasi tinggi kepada Walikota I Gusti Ngurah Jaya Negara beserta jajarannya dan para bendesa adat Kota Denpasar. Dia menyebut peresmian Bale Kertha Adhyaksa di Denpasar sebagai langkah baik yang dapat menjadi contoh bagi daerah lain di Bali.
“Denpasar sudah memiliki Bale Kertha Adhyaksa, itu menjadi tanda baik untuk menyebarkan ke seluruh daerah. Kajati tinggal membuat payung hukum, memperkuat kelembagaannya, serta memberikan materi-materi hukumnya,” ujarnya.
Sumedana menjelaskan, Bale Kertha Adhyaksa merupakan gagasan menyatukan kolaborasi antara living law (kearifan lokal) dengan positive law (hukum nasional), sehingga mampu menciptakan keadilan masyarakat yang lebih substansial. Konsep ini, katanya, sudah diterapkan di berbagai negara maju di mana upaya mediasi, perdamaian, dan solusi bersama menjadi pintu utama dalam menyelesaikan konflik hukum, dan pengadilan menjadi jalan terakhir (ultimum remidium).
Menurutnya, ketika Bale Kertha Adhyaksa sudah diperdakan dan terimplementasi dengan baik, maka Bali akan menjadi role model nasional dalam penyelesaian hukum berbasis budaya lokal. Untuk perkara pidana, akan tetap dilakukan pembatasan berdasarkan dampak dan tingkat akibat yang ditimbulkan.
“Meminimalisir kasus ke pengadilan akan memberikan dampak yang sangat luas, baik bagi negara maupun masyarakat. Negara bisa menghemat biaya perkara dan biaya pembinaan, sementara masyarakat mendapat penyelesaian yang cepat, tidak berbiaya, dan tidak menimbulkan resistensi sosial,” paparnya.
Sumedana menekankan bahwa menciptakan masyarakat yang harmonis, damai, dan toleran merupakan nilai utama yang diusung dalam lembaga ini. Menurutnya, menjaga Bali bukan hanya soal wilayah fisik, tapi juga membangun manusianya. “Menjaga Bali tidaklah mudah. Maka minimal perlu dirawat dua hal, yaitu menjaga tanahnya agar tidak habis dijual dan menjaga manusianya agar tidak kehilangan jati diri,” tegasnya.
Dalam konteks itu, dia menyebut konsep lokal seperti Desa Kala Patra dan Tri Hita Karana sebagai dasar penting untuk menjaga keberlanjutan hukum dan budaya di Pulau Dewata. Desa Kala Patra, kata Sumedana, mengajarkan fleksibilitas, kemampuan adaptasi, dan kolaborasi, sedangkan Tri Hita Karana menjaga keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dan dengan alam.
“Ini konsep yang meng-ajeg-kan Bali sampai sekarang. Masyarakat dibangun dengan akal budi dan pekerti yang baik, serta tanahnya dijaga agar tidak bergeser atau berpindah ke tangan lain,” ujar Sumedana.
“Kejaksaan hadir bukan hanya sebagai penegak hukum, tapi juga sebagai pelayan publik yang mencari solusi atas tantangan hukum dan sosial yang dihadapi masyarakat Bali ke depan,” tutur Sumedana. 7 t
Komentar