nusabali

DPRD Bali Rekomendasikan Pembongkaran

45 Bangunan di Pantai Bingin, Pecatu Terindikasi Ilegal

  • www.nusabali.com-dprd-bali-rekomendasikan-pembongkaran

Selain dugaan pelanggaran di Pantai Bingin, Komisi I DPRD Bali juga menyoroti pembangunan hotel mewah di Jimbaran yang disinyalir melanggar sejumlah ketentuan

DENPASAR, NusaBali
DPRD Bali mengeluarkan rekomendasi tegas untuk menghentikan seluruh kegiatan dan membongkar bangunan-bangunan liar di kawasan Pantai Bingin, Desa Pecatu, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung. Terdapat 45 bangunan yang terdiri atas vila, homestay, restoran, dan fasilitas wisata lainnya diduga melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan, mulai dari aturan tata ruang, lingkungan hidup, hingga indikasi penyerobotan tanah negara. 

Hal ini disampaikan dalam rapat kerja Komisi I DPRD Bali bersama sejumlah OPD Provinsi Bali, perwakilan Pemkab Badung, serta para pemilik usaha dan pengelola bangunan di kawasan Pantai Bingin, Selasa (10/6) pagi di Ruang Rapat Gabungan Lantai III DPRD Bali yang dipimpin langsung Ketua Komisi I, I Nyoman Budiutama.

Menurut Budiutama, kondisi Pantai Bingin kini memperlihatkan wajah pariwisata Bali yang menjauh dari nilai-nilai kearifan lokal. “Bangunan yang tidak sesuai peruntukan bukan hanya melanggar hukum, tapi juga mencederai filosofi arsitektur Bali yang mengedepankan harmoni dengan alam, budaya, dan spiritualitas,” ujarnya. 

Berdasarkan hasil pemantauan Satpol PP Provinsi Bali yang dituangkan dalam surat Nomor R.22.300.1/5129/Bid II/Satpol PP tanggal 10 Mei 2025, diketahui bahwa sejumlah bangunan seperti vila, bungalow, homestay, hingga restoran berdiri di sepanjang pesisir Pantai Bingin dan tepi jurang. Sebagian dikelola oleh WNI, sebagian lagi oleh WNA, dan sebagian lagi melibatkan keduanya. Menjadi sorotan karena bangunan-bangunan tersebut memanfaatkan tanah negara dan melanggar batas sempadan pantai maupun garis tepi jurang. Budiutama menegaskan fakta ini adalah bentuk pelanggaran hukum multidimensi. “Mulai dari aspek tata ruang, pertanahan, lingkungan hidup, hingga dugaan tindak pidana penyerobotan tanah. Bahkan bisa saja menyentuh pelanggaran pidana jika ditemukan unsur kesengajaan atau pembiaran oleh pejabat terkait,” katan Budiutama. 

Ketua Komisi I DPRD Bali I Nyoman Budiutama (kanan) dan Anggota Komisi I  I Made Supartha. –ADI PUTRA 

Pelanggaran ini, menurut Budiutama bukan hal sepele. Jika dibiarkan, akan menjadi preseden buruk bagi tata kelola wilayah dan pariwisata di Bali. “Pemerintah bisa dianggap tidak tegas, atau bahkan mentolerir pelanggaran hukum. Itu sangat berbahaya,” tambahnya.

Komisi I pun menyusun empat rekomendasi utama. Pertama, meminta Satpol PP menghentikan seluruh aktivitas pembangunan dan usaha di kawasan Pantai Bingin dengan memasang garis ‘Pol PP Line’ sebagai langkah awal sanksi administratif. Kedua, melakukan penutupan usaha dan pengosongan bangunan sebelum pembongkaran. Ketiga, melaksanakan pembongkaran fisik bangunan dan pemulihan kawasan sebagai ruang terbuka hijau (RTH) dan kawasan suci. Keempat, memproses hukum seluruh pihak yang terlibat, termasuk pejabat yang terbukti melakukan pembiaran.

Selain fokus pada pelanggaran di Pantai Bingin, DPRD juga menyoroti pembangunan sebuah hotel mewah di Jimbaran, Kuta Selatan, Badung yang disinyalir melanggar sejumlah ketentuan tata ruang, khususnya karena membangun di zona tebing curam dan melakukan perubahan bentang alam tanpa izin, termasuk pemotongan bukit dan reklamasi pantai. DPRD menilai aktivitas tersebut tidak hanya merusak lingkungan, tapi juga mengabaikan nilai-nilai budaya serta norma arsitektur khas Bali. 

Ia menambahkan, pelanggaran paling mencolok adalah ketinggian bangunan yang melebihi batas maksimal 15 meter sebagaimana diatur dalam Pasal 100 ayat (2) Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2023 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2023–2043. Meski aturan tersebut tidak mencantumkan sanksi administratif secara eksplisit, DPRD menilai pelanggaran tetap dapat diproses melalui ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.

Dalam rekomendasinya, DPRD meminta pemberhentian, menutup seluruh kegiatan dalam pembangunan hotel dan fasilitas lainnya serta diberikan sanksi tegas karena telah merusak alam Bali dan melanggar aturan perundang-udangan yang berlaku kepada pihak hotel sampai pencabutan izin dalam upaya menyelamatkan alam Bali dari kerusakan yang ditimbulkan.

Anggota Komisi I DPRD Bali, I Made Supartha menambahkan beberapa regulasi yang dijadikan dasar dalam kajian ini antara lain Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir, UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, hingga Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai dan masih ada banyak lainnya. Di tingkat lokal, rujukannya adalah Perda Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2023 tentang RTRW 2023–2043 dan Perda Nomor 4 Tahun 2023 tentang Haluan Pembangunan Bali Masa Depan 100 Tahun Bali Era Baru. Budiutama mengingatkan bahwa konsep pembangunan Bali yang diatur dalam Perda itu tidak sekadar fisik, tetapi juga spiritual dan kultural. "Bangunan bukan hanya tembok dan atap, melainkan identitas budaya. Maka, tidak bisa berdiri sembarangan," tegas Ketua Fraksi PDIP DPRD Bali ini. Rekomendasi tersebut sudah berlaku mulai hari ini (kemarin) dan akan diawasi langsung bersama Satpol PP Bali. 

Terkait kepemilikan oleh WNA, Kepala Satpol PP Bali I Dewa Nyoman Rai Dharmadi mengatakan ada dua terindikasi WNA, satu sudah jelas dan yang satu sedang didalami. “Ini kan ada nominee yang memang secara status administrasi mereka perjanjian antara dua pihak, sementara yang satu jelas kepemilikan WNA, selama ini mereka melakukan kegiatan usaha di areal yang memang bukan hal milik,” kata Rai Dharmadi.

Sementara itu, penasihat hukum salah satu pemilik bangunan, Usiana Dethan, ditemui usai rapat kerja menyatakan bersikap menunggu keputusan akhir pemerintah terkait rekomendasi pembongkaran bangunan liar yang dinilai melanggar peraturan. Menurut Usiana, polemik keberadaan bangunan di kawasan tersebut sudah berlangsung lama, bukan perkara baru. “Dari korporasi sendiri kami sudah sampaikan, sekarang tinggal menunggu tindakan pemerintah. Ini sudah lama sekali, bukan baru kemarin,” ujarnya.

Ia menambahkan, para pemilik bangunan di Pantai Bingin pada dasarnya bersedia mengikuti kebijakan pemerintah. Bahkan sebagian besar telah diarahkan untuk melakukan registrasi oleh Pemerintah Kabupaten Badung. Saat ini belum ada kepastian bagaimana hasil akhir dari rekomendasi DPRD tersebut karena baru akan diserahkan ke pihak eksekutif. “Kami hanya menunggu. Apakah akan dibongkar, ditutup, atau justru akan ada bentuk pengelolaan bersama antara Pemkab Badung dan Pemprov Bali. Itu yang belum jelas,” lanjutnya. 7 t, ant

Komentar