Luka Pilkada Masih Terasa, Konsolidasi dan Kedewasaan Politik Belum Sentuh Akar Rumput
Pemilu 2024
Pilkada 2024
Koster-Giri
Mulia-PAS
Petruk
I Made Suryana
Perbekel Baturiti
Gerindra
Widhiasthini
Ni Wayan Widhiasthini
Dr Ni Wayan Widhiasthini SSos Msi
I Gede John Darmawan
John Darmawan
KPU Bali
Ekses Pilkada
DENPASAR, NusaBali.com - Hampir 200 hari sudah hajatan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 berlalu. Para kepala daerah terpilih di Bali pun sudah bekerja lebih dari 100 hari. Namun, ekses kontestasi politik tersebut tampak masih hangat di akar rumput.
Ada dua peristiwa yang dapat menjadi peringatan bahwa riak-riak dan sentimen atau ekses Pilkada Serentak 2024 masih berlangsung di masyarakat meski di tingkat elit sudah move on.
Pertama, isu seniman drama gong lawas I Nyoman Subrata alias Petruk ‘dilarang’ tampil di Pesta Kesenian Bali (PKB) 2025 karena niat kurator menjadikan drama gong lawas PKB sebagai tolok ukur. Ada syarat ketat dalam penggunaan bahasa yang beretika, sedangkan Petruk sendiri memiliki ciri khas guyonan diselipkan kata-kata umpatan.
Namun, isu tidak diizinkannya Petruk tampil di PKB 2025 memunculkan spekulasi bahwa hal ini tidak lepas dari riwayat sang seniman asal Kelurahan Kawan, Bangli itu pernah mendukung paslon Gubernur dan Wakil Gubernur Bali Made Muliawan Arya-Putu Agus Suradnyana yang akhirnya dikalahkan pasangan Wayan Koster-I Nyoman Giri Prasta.
Meski sudah diklarifikasi oleh pihak-pihak yang berkepentingan bahwa isu itu tidak benar dan tidak pernah ada pelarangan terhadap Petruk, spekulasi bersentimen Pilkada 2024 sudah kadung dikonsumsi publik. Fenomena ini menandakan bahwa ekses rivalitas politik masih ada di akar rumput dan sewaktu-waktu dapat dipantik lewat celah-celah isu terkini.
Kedua, soal beredarnya rekaman suara Perbekel Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan I Made Suryana bernada provokatif yang diambil dalam sebuah pertemuan kelompok peternak di desa setempat. Dalam pertemuan tersebut, Suryana terang-terangan menyatakan akan menolak meneken proposal ‘berlabel Gerindra.’
Dengan dana kesal yang berapi-api, Suryana menilai para peternak diketahui banyak tergabung Semeton Mulyadi Tabanan (Semut) massa paslon Bupati dan Wakil Bupati Tabanan I Nyoman Mulyadi-I Nyoman Ardika usungan KIM Plus. Mereka dinilai tidak etis menerima bantuan yang difasilitasi Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi PDIP I Nyoman Adi Wiryatama.
Dua peristiwa bersentimen ‘luka’ Pilkada 2024 ini jadi warning bagi elit politik di Bali bahwa konsolidasi dan kedewasaan politik belum menyentuh akar rumput. Luka politik ini tidak dapat didiamkan lantaran dinilai kontraproduktif dengan rencana pembangunan Bali yang memerlukan sinergi dan kebersamaan.
Hal tersebut disampaikan pengamat pemilu sekaligus akademisi Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Dr Ni Wayan Widhiasthini SSos MSi dan Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat dan SDM Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Bali I Gede John Darmawan.
Widhiasthini menuturkan bahwa tidak dipungkiri masih ada jurang antara kelompok pemenang dan yang kalah. Masih adanya isu tertentu yang dispekulasikan ke kontestasi politik dan keberanian individu tertentu dalam mempertegas keberadaan jurang tersebut seperti yang dilakukan Perbekel Baturiti, turut didorong dinamika politik nasional yang juga belum usai.
“Kalau ekses ini (Pemilu dan Pilkada Serentak 2024) dibiarkan, saya khawatir ini jadi meluas. Yang awalnya terjadi di suatu daerah meluas diikuti daerah-daerah lainnya,” ungkap Widhiasthini ketika dihubungi NusaBali.com, Sabtu (7/6/2025).
Pengamat pemilu yang juga eks Komisioner KPU Bali Periode 2013-2018 menjelaskan, setahun lebih masyarakat Bali dihadapkan pada polarisasi Pemilu 2024 hingga Pilkada Serentak 2024. Widhiasthini menilai, ekses dua pemilu lalu itu kerap naik turun kemudian melandai, namun akan mengemuka lagi begitu ada pemantiknya seperti dua isu belakangan.
“Mestinya, konsolidasinya harus kuat ini, tidak lagi terkotak-kotak tapi harus satu kesatuan gerak dan pola pikir. Harus ditindaklanjuti ke kabupaten/kota, sampai ke akar rumput,” tegas Widhiasthini yang juga Wakil Rektor Undiknas Bidang Pengembangan Akademik ini.
Menurutnya, konsolidasi yang dilakukan para elit hanya sekadar saja. Sebatas retorika dan simbolik untuk menegaskan bahwa mereka telah bertemu dan berdamai, namun tidak ada perintah konsolidasi tersebut diteruskan sampai ke akar rumput. Walhasil, para elit sudah move on, namun massa di lapangan masih terbelenggu ekses pemilu.
“Ini (konsolidasi sampai ke akar rumput) harus disegerakan, harus didorong. Jangan sampai merembes ke mana-mana karena isu dan bumbu-bumbu tertentu. Eman kalau dalam lima tahun ini ekses pemilu dan pilkada ini tidak ditindaklanjuti,” kata Widhiasthini.
Senada, John menilai pendewasaan politik yang juga menjadi kewajiban peserta pemilu belum mampu menyentuh akar rumput. Peserta pemilu baik itu partai politik maupun perseorangan memiliki konstituen dan massa yang tidak boleh dibiarkan ‘liar’ begitu hajatan politik usai. Mereka punya tugas mendewasakan konstituen dan massa masing-masing secara politik.
“Karena kadang-kadang para elitnya sudah paham dalam hal itu, tapi di bawah itu yang kadang-kadang masih terbawa (suasana pemilu yang sudah usai). Kalau seperti itu kan artinya kita sempit berpolitik,” beber John ketika dihubungi NusaBali.com, Sabtu (7/5/2025).
John menegaskan bahwa ketika tahapan pemilu telah usai, apalagi sudah ada penetapan dan pelantikan, sudah bukan tempatnya lagi untuk berbicara siapa mendukung siapa. Kata eks Ketua KPU Kota Denpasar ini, masa sekarang ini merupakan tahap pembangunan di mana individu terpilih adalah pemimpin seluruh golongan.
Sementara itu, Widhiasthini menegaskan bahwa ekses pemilu dan pilkada dapat dikikis dengan proses pendidikan politik. Jika saat tahapan dilakukan pendidikan pemilih agar mereka menggunakan hak pilih, maka pasca tahapan ini dilakukan pendidikan politik persatuan. Ekses politik yang langgeng dinilai melemahkan pemerintahan karena terpecahnya akar rumput.
Pendidikan politik ini, kata Widhiasthini, perlu didorong secara aktif oleh pemerintah melalui Badan Kesatuan Bangsa dan Politik bersama KPU, Bawaslu, dan partai politik. Di samping itu, perlu melibatkan komunitas, akademisi, media massa, dan lain-lain yang memiliki kantong-kantong sasaran pendidikan politik.
Di sisi lain, John mengakui bahwa salah satu tugas KPU selain menyelenggarakan pemilu adalah melakukan pendidikan pemilih, termasuk pendidikan politik. Namun, kata dia, KPU sekarang ini lebih fokus memberikan pendidikan kepada pemilih pemula lantaran dianggap paling rentan untuk tidak acuh dengan politik.
“Ketika mereka tidak suka ya mereka tidak akan mau ikut di dalamnya. Mengapa mereka tidak suka? Karena melihat situasi di dalamnya, situasi yang ada. Kami mencoba memberikan pemahaman dan pendewasaan politik,” tandas John. *rat
Pertama, isu seniman drama gong lawas I Nyoman Subrata alias Petruk ‘dilarang’ tampil di Pesta Kesenian Bali (PKB) 2025 karena niat kurator menjadikan drama gong lawas PKB sebagai tolok ukur. Ada syarat ketat dalam penggunaan bahasa yang beretika, sedangkan Petruk sendiri memiliki ciri khas guyonan diselipkan kata-kata umpatan.
Namun, isu tidak diizinkannya Petruk tampil di PKB 2025 memunculkan spekulasi bahwa hal ini tidak lepas dari riwayat sang seniman asal Kelurahan Kawan, Bangli itu pernah mendukung paslon Gubernur dan Wakil Gubernur Bali Made Muliawan Arya-Putu Agus Suradnyana yang akhirnya dikalahkan pasangan Wayan Koster-I Nyoman Giri Prasta.
Meski sudah diklarifikasi oleh pihak-pihak yang berkepentingan bahwa isu itu tidak benar dan tidak pernah ada pelarangan terhadap Petruk, spekulasi bersentimen Pilkada 2024 sudah kadung dikonsumsi publik. Fenomena ini menandakan bahwa ekses rivalitas politik masih ada di akar rumput dan sewaktu-waktu dapat dipantik lewat celah-celah isu terkini.
Kedua, soal beredarnya rekaman suara Perbekel Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan I Made Suryana bernada provokatif yang diambil dalam sebuah pertemuan kelompok peternak di desa setempat. Dalam pertemuan tersebut, Suryana terang-terangan menyatakan akan menolak meneken proposal ‘berlabel Gerindra.’
Dengan dana kesal yang berapi-api, Suryana menilai para peternak diketahui banyak tergabung Semeton Mulyadi Tabanan (Semut) massa paslon Bupati dan Wakil Bupati Tabanan I Nyoman Mulyadi-I Nyoman Ardika usungan KIM Plus. Mereka dinilai tidak etis menerima bantuan yang difasilitasi Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi PDIP I Nyoman Adi Wiryatama.
Dua peristiwa bersentimen ‘luka’ Pilkada 2024 ini jadi warning bagi elit politik di Bali bahwa konsolidasi dan kedewasaan politik belum menyentuh akar rumput. Luka politik ini tidak dapat didiamkan lantaran dinilai kontraproduktif dengan rencana pembangunan Bali yang memerlukan sinergi dan kebersamaan.
Hal tersebut disampaikan pengamat pemilu sekaligus akademisi Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Dr Ni Wayan Widhiasthini SSos MSi dan Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat dan SDM Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Bali I Gede John Darmawan.
Widhiasthini menuturkan bahwa tidak dipungkiri masih ada jurang antara kelompok pemenang dan yang kalah. Masih adanya isu tertentu yang dispekulasikan ke kontestasi politik dan keberanian individu tertentu dalam mempertegas keberadaan jurang tersebut seperti yang dilakukan Perbekel Baturiti, turut didorong dinamika politik nasional yang juga belum usai.
“Kalau ekses ini (Pemilu dan Pilkada Serentak 2024) dibiarkan, saya khawatir ini jadi meluas. Yang awalnya terjadi di suatu daerah meluas diikuti daerah-daerah lainnya,” ungkap Widhiasthini ketika dihubungi NusaBali.com, Sabtu (7/6/2025).
Pengamat pemilu yang juga eks Komisioner KPU Bali Periode 2013-2018 menjelaskan, setahun lebih masyarakat Bali dihadapkan pada polarisasi Pemilu 2024 hingga Pilkada Serentak 2024. Widhiasthini menilai, ekses dua pemilu lalu itu kerap naik turun kemudian melandai, namun akan mengemuka lagi begitu ada pemantiknya seperti dua isu belakangan.
“Mestinya, konsolidasinya harus kuat ini, tidak lagi terkotak-kotak tapi harus satu kesatuan gerak dan pola pikir. Harus ditindaklanjuti ke kabupaten/kota, sampai ke akar rumput,” tegas Widhiasthini yang juga Wakil Rektor Undiknas Bidang Pengembangan Akademik ini.
Menurutnya, konsolidasi yang dilakukan para elit hanya sekadar saja. Sebatas retorika dan simbolik untuk menegaskan bahwa mereka telah bertemu dan berdamai, namun tidak ada perintah konsolidasi tersebut diteruskan sampai ke akar rumput. Walhasil, para elit sudah move on, namun massa di lapangan masih terbelenggu ekses pemilu.
“Ini (konsolidasi sampai ke akar rumput) harus disegerakan, harus didorong. Jangan sampai merembes ke mana-mana karena isu dan bumbu-bumbu tertentu. Eman kalau dalam lima tahun ini ekses pemilu dan pilkada ini tidak ditindaklanjuti,” kata Widhiasthini.
Senada, John menilai pendewasaan politik yang juga menjadi kewajiban peserta pemilu belum mampu menyentuh akar rumput. Peserta pemilu baik itu partai politik maupun perseorangan memiliki konstituen dan massa yang tidak boleh dibiarkan ‘liar’ begitu hajatan politik usai. Mereka punya tugas mendewasakan konstituen dan massa masing-masing secara politik.
“Karena kadang-kadang para elitnya sudah paham dalam hal itu, tapi di bawah itu yang kadang-kadang masih terbawa (suasana pemilu yang sudah usai). Kalau seperti itu kan artinya kita sempit berpolitik,” beber John ketika dihubungi NusaBali.com, Sabtu (7/5/2025).
John menegaskan bahwa ketika tahapan pemilu telah usai, apalagi sudah ada penetapan dan pelantikan, sudah bukan tempatnya lagi untuk berbicara siapa mendukung siapa. Kata eks Ketua KPU Kota Denpasar ini, masa sekarang ini merupakan tahap pembangunan di mana individu terpilih adalah pemimpin seluruh golongan.
Sementara itu, Widhiasthini menegaskan bahwa ekses pemilu dan pilkada dapat dikikis dengan proses pendidikan politik. Jika saat tahapan dilakukan pendidikan pemilih agar mereka menggunakan hak pilih, maka pasca tahapan ini dilakukan pendidikan politik persatuan. Ekses politik yang langgeng dinilai melemahkan pemerintahan karena terpecahnya akar rumput.
Pendidikan politik ini, kata Widhiasthini, perlu didorong secara aktif oleh pemerintah melalui Badan Kesatuan Bangsa dan Politik bersama KPU, Bawaslu, dan partai politik. Di samping itu, perlu melibatkan komunitas, akademisi, media massa, dan lain-lain yang memiliki kantong-kantong sasaran pendidikan politik.
Di sisi lain, John mengakui bahwa salah satu tugas KPU selain menyelenggarakan pemilu adalah melakukan pendidikan pemilih, termasuk pendidikan politik. Namun, kata dia, KPU sekarang ini lebih fokus memberikan pendidikan kepada pemilih pemula lantaran dianggap paling rentan untuk tidak acuh dengan politik.
“Ketika mereka tidak suka ya mereka tidak akan mau ikut di dalamnya. Mengapa mereka tidak suka? Karena melihat situasi di dalamnya, situasi yang ada. Kami mencoba memberikan pemahaman dan pendewasaan politik,” tandas John. *rat
Komentar