APBN Defisit Rp31,2 Triliun, Rupiah Melemah, Ekonom Desak Reformasi Fiskal
JAKARTA, NusaBali.com – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) per 28 Februari 2025 mengalami defisit sebesar Rp31,2 triliun atau setara 0,13 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Meski demikian, angka tersebut masih dalam batas aman dari target defisit APBN 2025 yang sebesar Rp616,2 triliun atau 2,53 persen terhadap PDB.
“Defisit ini masih sesuai dengan rencana fiskal tahunan. Kami memang melakukan strategi front loading dalam pembiayaan anggaran di awal tahun,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa Edisi Maret 2025 di Jakarta, Kamis (13/3/2025).
Pendapatan negara hingga akhir Februari tercatat sebesar Rp316,9 triliun atau 10,5 persen dari target APBN tahun ini yang mencapai Rp3.005,1 triliun. Dari angka tersebut, penerimaan perpajakan menyumbang Rp240,4 triliun, sementara penerimaan negara bukan pajak (PNBP) mencapai Rp76,4 triliun.
Di sisi belanja, pemerintah telah merealisasikan Rp348,1 triliun atau 9,6 persen dari total target belanja negara sebesar Rp3.621,3 triliun. Belanja pemerintah pusat mencapai Rp211,5 triliun, terdiri atas belanja kementerian/lembaga Rp83,6 triliun dan belanja non-K/L Rp127,9 triliun. Sementara itu, transfer ke daerah (TKD) sudah terealisasi Rp136,6 triliun.
Dengan defisit yang mulai muncul sejak awal tahun, keseimbangan primer —selisih pendapatan negara dikurangi belanja di luar pembayaran bunga utang— masih mencatat surplus sebesar Rp48,1 triliun.
Namun, realisasi pembiayaan anggaran terpantau cukup tinggi dalam dua bulan pertama tahun ini, yakni mencapai Rp220,1 triliun atau 35,7 persen dari target tahunan. Sri Mulyani menyebut hal ini sebagai bagian dari strategi pengelolaan fiskal yang mengedepankan kehati-hatian dan antisipasi dinamika global.
Pelemahan Rupiah dan Dampaknya
Dalam kesempatan yang sama, Sri Mulyani juga menyoroti pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, yang kini menembus angka Rp16.340 per dolar AS per 10 Maret 2025, dan bahkan mencapai Rp16.452 pada penutupan perdagangan Rabu (12/3).
Menurutnya, pelemahan rupiah disebabkan oleh meningkatnya ketidakpastian global, terutama setelah Presiden AS Donald Trump kembali menjabat dan mengeluarkan serangkaian kebijakan proteksionis. “Gejolak global ini terefleksi pada pasar keuangan, termasuk nilai tukar rupiah,” katanya.
Sementara itu, imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN) 10 tahun juga mengalami fluktuasi, tercatat 6,88 persen pada 10 Maret, dengan rata-rata tahun berjalan di 6,98 persen. Meski demikian, pemerintah memastikan pasar SBN tetap stabil dan kompetitif.
Komentar