Melihat Pura Dalem Mpu Aji di Penatih Dangri, Jejak Sulinggih Waisnawa dari Bangsawan Bali Kuno
Memohon Kesembuhan dan Taksu, Harus Lewati Lima Tahap Ritual
Geria Sunia diyakini dahulunya merupakan tempat beryoga Dewa Anggungan sehingga energi di Geria Sunia begitu kuat bagi para penekun spiritual
DENPASAR, NusaBali
Pura Dalem Mpu Aji terletak di Banjar Buaji, Desa Adat Bekul, Desa Penatih Dangin Puri, Denpasar. Pura ini didirikan seorang sulinggih berdarah bangsawan Kerajaan Gelgel yang kini ramai dikunjungi untuk memohon kesembuhan dan taksu.
Pura Dalem Mpu Aji tergolong pura kuno karena diperkirakan berdiri tahun 1500 Masehi, pada zaman Kerajaan Bali era Gelgel. Pura cagar budaya ini tidak begitu kentara dari Jalan Siulan karena posisinya yang dikelilingi pemukiman padat penduduk di Denpasar Timur. Namun, kesan kuno Pura Dalem Mpu Aji mulai terasa begitu melihat struktur candi kurung dengan lima tingkat yang diapit patung dwarapala raksasa. Ketika dikunjungi NusaBali.com, Selasa (25/2/2025), candi kurung ini memang tidak dalam kondisi utuh pasca diterjang cuaca ekstrem Desember 2024 silam.
Jero Mangku Gede Pura Dalem Mpu Aji I Wayan Yasa,58, menuturkan bahwa candi kurung tersebut tidak dapat segera diperbaiki mengingat statusnya sebagai cagar budaya menurut Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XV. Diperlukan proses restorasi dan penyesuaian struktur dengan bangunan lain di pura. “Pura ini didirikan oleh keturunan Sri Aji Kresna Kepakisan, Ida I Dewa Anggungan yang mencapai titik tertinggi dalam spiritual dan mencapai gelar Mpu Aji. Menurut catatan, Beliau melakukan padiksan di sini,” ungkap Jero Mangku Yasa.

Pura Taman Sari Pancaka Tirta -NGURAH RATNADI
Ida I Dewa Anggungan merupakan sepupu Raja Gelgel, Dalem Waturenggong. Ia adalah putra sulung Ida I Dewa Tegal Besung yang merupakan paman Dalem Waturenggong dan sekaligus putra bungsu Raja Bali pertama pasca Pulau Dewata ditaklukkan Majapahit yakni Sri Aji Kresna Kepakisan. Kata Jero Mangku Yasa, Dewa Anggungan telah keluar dari istana dan melepas gelar kebangsawannya untuk menjalankan kesulinggihan. Ketika mayoritas bangsawan Gelgel menganut Siwa-Buddha, Dewa Anggungan memilih tetap mempertahankan ajaran leluhurnya sebagai seorang Waisnawa.
Setelah keluar istana, Dewa Anggungan diiringi beberapa arya, pasek, dan pande berkelana sampai tiba di wilayah yang sekarang disebut Buaji. Di wilayah inilah ia sempat menetap dan menjalankan padiksan mulai dari tahap Bhujangga Aji, kemudian menjadi seorang Dukuh, dan puncaknya bergelar Mpu Aji. Diyakini, Pura Dalem Mpu Aji didirikan atas perintah Dewa Anggungan setelah ia mendapat wangsit.
Ia menjadi pamucuk dan sosok yang merawat Buaji dengan bantuan para arya, pasek, dan pande. Arya, pasek, dan pande yang mengiringi Dewa Anggungan memiliki palinggih khusus yang mengelilingi palinggih gedong utama. Sebagai seorang Mpu Aji, Dewa Anggungan melakukan praktik-praktik spiritual yang kini secara ritus dan situs tercatat dalam lontar Kaputusan Jagatnatha. Lontar ini pulalah yang dijadikan dasar pelaksanaan upacara di Pura Dalem Mpu Aji, termasuk ketika ada umat yang memohon kesembuhan dan taksu.

Lokasi Geria Sunia. -NGURAH RATNADI
“Penekun spiritual, sulinggih, sampai calon pejabat sudah pernah berkunjung ke sini. Ada juga yang datang untuk usada. Petunjuk tentang pengobatan iya, tetakson gegitan iya, tetakson balian iya, dan tetakson untuk mencari semacam kedudukan juga iya,” tegas Jero Mangku Yasa yang ngayah sejak 2014 silam ini. Untuk memohon usada dan taksu, umat akan diajak menjalankan ritus sesuai lontar Kaputusan Jagatnatha.
Ada lima situs di sekitar pura yang harus dikunjungi sebelum persembahyangan di hadapan palinggih gedong yang memiliki pratima bertingkat, yakni Bedawang Nala, Aswin, dan Wisnu paling atas. Umat wajib menyucikan diri dengan ritual malukat di Pura Taman Sari Pancaka Tirta yang berlokasi di sisi tenggara Pura Dalem Mpu Aji. Kata Jero Mangku Istri Wayan Sugantini,57, sumber air di Pura Taman dijuluki ‘toya ngembeng’ (air menggenang) karena mata airnya tidak terlihat dan airnya tidak bergerak.
“Airnya itu bisa naik turun, tetapi tidak pernah kering walaupun dalam situasi kemarau panjang sekalipun,” beber Jero Mangku Istri Sugantini. Jero Mangku Yasa meyakini pasang surut toya ngembeng ini pertanda bahwa telah terjadi perubahan alam, meski tidak diketahui perubahan apa yang terjadi. Selain itu, di dalam Pura Taman terdapat tiga patung berwujud sulinggih. Ketiga patung tersebut simbol Tri Purusa menurut Waisnawa yakni Wisnu, Sri Wisnu, dan Maha Wisnu. Selesai menyucikan diri, ritual berpindah ke situs Geria Sunia, yakni geria tidak kasat mata yang berada di bawah pohon kepah di sisi utara Pura Dalem Mpu Aji. Ribuan burung walet terbang berputar di atas pohon kepah ini menjelang rerahinan, pujawali pura, dan waktu tertentu seperti saat lontar warisan pura dikonservasi Penyuluh Bahasa Bali, Selasa pagi.
Meski dijuluki geria tidak kasat mata, di areal Geria Sunia terdapat beberapa palinggih dan juga patung berwujud sulinggih. Diyakini, Geria Sunia ini dahulunya merupakan tempat beryoga Dewa Anggungan sehingga dijelaskan Jero Mangku Yasa, energi di Geria Sunia begitu kuat bagi para penekun spiritual.
“Setelah sungkem atau sembahyang di Geria Sunia, baru lantas ke Ida Ratu Ngurah Agung. Palinggihnya berbentuk patung serupa Jayapangus yang ada setelah masuk lewat candi kurung. Kemudian, ke Ardhanariswari, dua patung sulinggih lanang istri,” imbuh Jero Mangku Yasa.
Setelah melewati penyucian diri dan persembahyangan di lima situs integral Pura Dalem Mpu Aji ini, baru kemudian umat melaksanakan persembahyangan di utama mandala. Pada persembahyangan terakhir ini, umat dipersilakan memanjatkan doa dan permohonan masing-masing. Kata Jero Mangku Yasa, umat non pangempon yang datang ke Pura Dalem Mpu Aji didorong oleh dua hal. Pertama, menerima petunjuk atau wangsit. Kedua, karena memang sudah tahu bahwa pura kuno ini bertuah dan berkunjung dengan pengharapan masing-masing. “Bukan dari Bali saja, yang datang berkunjung ada yang dari Jawa sampai Sumatera. Dari penekun spiritual sampai bhante (gelar kehormatan untuk biksu, biarawati Buddha, terutama dalam tradisi Theravada) pernah berkunjung ke sini. Tentu, mereka itu mencari keliling dulu sampai akhirnya berjodoh dengan Pura Dalem Mpu Aji,” tandas Jero Mangku Yasa. 7 ol1
Komentar