Lebaran Tanpa THR, Dilema Pekerja Gig di Era Ekonomi Fleksibel
JAKARTA, NusaBali.com – Menjelang Lebaran Idul Fitri 1446 Hijriah pada akhir Maret mendatang, isu Tunjangan Hari Raya (THR) kembali mencuat, tidak hanya bagi pekerja formal, tetapi juga bagi pekerja lepas atau mitra kerja di era ekonomi gig.
Ekonomi gig, yang menawarkan fleksibilitas kerja berbasis proyek atau tugas, telah menjadi tulang punggung bagi jutaan pekerja di Indonesia. Namun, polemik mengenai pemberian THR bagi mitra platform digital terus memicu perdebatan antara kepentingan kesejahteraan pekerja dan keberlanjutan industri.
Berdasarkan penelitian terbaru dari SBM ITB 2023, sektor ekonomi gig berkontribusi sekitar Rp 382,62 triliun atau 2% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional pada 2022.
Pekerja gig, seperti mitra pengemudi, kurir, desainer, hingga content creator, menikmati fleksibilitas waktu dan tempat kerja yang tidak dimiliki pekerja formal. Namun, di balik manfaat tersebut, muncul tuntutan agar mitra platform digital mendapatkan THR, layaknya karyawan tetap.
Pro dan Kontra THR bagi Pekerja Gig
Pemerintah telah mulai merespons tuntutan ini dengan menginisiasi regulasi yang mewajibkan pemberian THR bagi mitra platform digital. Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) mendesak agar THR diberikan dalam bentuk tunai, bukan insentif. Namun, kebijakan ini menuai pro dan kontra.
Di satu sisi, pemberian THR dianggap sebagai bentuk perlindungan bagi pekerja gig. Di sisi lain, hal ini dapat menjadi beban finansial bagi perusahaan, terutama yang masih menghadapi tantangan keuangan.
Agung Yudha, Direktur Eksekutif Modantara, mengingatkan bahwa regulasi yang tidak seimbang berisiko menghambat pertumbuhan industri dan mengurangi program kesejahteraan jangka panjang bagi mitra.
Belajar dari kasus di luar negeri, kebijakan serupa telah menimbulkan efek domino negatif. Di Inggris, kenaikan biaya layanan sebesar 10-20% setelah Uber diwajibkan membayar tunjangan tambahan justru menurunkan permintaan hingga 15%.
Di Spanyol, reklasifikasi pekerja gig menjadi karyawan tetap menyebabkan pengurangan jumlah mitra hingga 50%. Sementara di New York, regulasi upah minimum bagi pekerja gig memicu kenaikan biaya operasional dan penurunan pendapatan bersih mitra.
Komentar