Polemik THR Mitra Aplikator: Hak Pekerja atau Ancaman bagi Industri?
JAKARTA, NusaBali.com - Ekonomi gig adalah sistem kerja fleksibel di mana individu bekerja berdasarkan proyek atau tugas tertentu tanpa adanya kontrak kerja tetap seperti dalam pekerjaan konvensional. Di Indonesia, pekerja gig mencakup berbagai kategori, seperti mitra pengemudi dan kurir, pekerja lepas, penyedia jasa di platform digital, pekerja kreatif, instruktur online, hingga pelaku bisnis di ekosistem marketplace.
Selain fleksibilitas, ekonomi gig berkontribusi pada pengembangan keterampilan pekerja. Dengan bekerja di sektor ini, individu dapat memperoleh pengalaman baru dan meningkatkan keterampilan mereka, baik di bidang digital maupun keterampilan lain yang relevan dengan pekerjaan mereka. Dalam beberapa kasus, keterampilan yang diperoleh bahkan membuka peluang bagi mereka untuk memulai usaha sendiri.
Polemik mengenai status mitra dan tuntutan pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) kepada aplikator terus menjadi sorotan di berbagai media massa. Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) mendesak pemerintah agar menetapkan regulasi yang mewajibkan perusahaan ride-hailing memberikan THR dalam bentuk tunai, bukan insentif.
Pemerintah pun merespons dengan berbagai inisiatif hingga mempertimbangkan untuk mewajibkan pemberian THR bagi mitra platform digital, meskipun kebijakan ini menuai pro dan kontra.
Namun, kebijakan ini dinilai dapat menjadi beban tambahan bagi perusahaan dan berisiko menghambat pertumbuhan industri. Beberapa platform digital menghadapi tantangan keuangan, meskipun beberapa sudah mencapai profitabilitas.
Jika dipaksakan, perusahaan bisa menaikkan harga tarif layanan yang berdampak pada konsumen atau menghapus program-program benefit yang sebelumnya diberikan kepada mitra. Bahkan, dalam skenario terburuk, perusahaan dapat melakukan pemutusan hubungan kerja secara massal untuk mengurangi biaya operasional.
Sejumlah negara telah mengalami dampak negatif akibat reklasifikasi pekerja gig yang terlalu kaku. Di Spanyol, setelah pemerintah menerapkan undang-undang ketenagakerjaan yang mewajibkan pengemudi menjadi karyawan tetap, beberapa platform ride-hailing utama mengurangi jumlah pengemudi hingga 50%. Akibatnya, banyak pekerja gig kehilangan pekerjaan dan fleksibilitas yang mereka andalkan untuk mencari penghasilan tambahan.
Direktur Eksekutif Asosiasi Mobilitas dan Pengantaran Digital Indonesia (Modantara), Agung Yudha, menilai bahwa pelaku industri on-demand di Indonesia telah menjalankan berbagai inisiatif, seperti bantuan modal usaha, beasiswa pendidikan bagi anak mitra, serta pemberian paket bahan pokok dan perawatan kendaraan dengan harga khusus.
Jika kebijakan Bantuan Hari Raya (BHR) diberlakukan, ada potensi industri harus melakukan berbagai penyesuaian bisnis yang dapat berdampak pada pengurangan program kesejahteraan jangka panjang bagi mitra.
Saat ini, sektor platform digital telah memberikan akses bagi jutaan individu untuk memperoleh penghasilan alternatif dengan fleksibilitas tinggi. Berdasarkan data ITB (2023), model kerja fleksibel ini berkontribusi sebesar 2% dari PDB Indonesia pada tahun 2022. Oleh karena itu, setiap kebijakan yang diterbitkan harus memastikan tidak menghambat pertumbuhan atau membatasi manfaat bagi para mitra.
Prof. Dr. Aloysius Uwiyono, S.H., M.H., Guru Besar Hukum Perburuhan Universitas Trisakti, mengungkapkan bahwa regulasi yang mengarah pada perubahan status mitra akan berdampak luas, tidak hanya bagi industri ride-hailing tetapi juga bagi ekosistem investasi dan ekonomi digital di Indonesia. Hal ini juga dapat mempengaruhi UMKM, pariwisata, dan sektor logistik yang bergantung pada layanan ride-hailing.
Komentar