nusabali

Audiensi ‘Masyarakat Jimbaran’ ke DPRD Bali Dicurigai karena Motif Terselubung

  • www.nusabali.com-audiensi-masyarakat-jimbaran-ke-dprd-bali-dicurigai-karena-motif-terselubung

DENPASAR, NusaBali.com – Sejumlah tokoh masyarakat Jimbaran akhirnya angkat bicara soal unjuk rasa yang dilakukan sekelompok orang yang menggelar audiensi ke DPRD Bali. Pasalnya audiensi tersebut mengatasnamakan 'Masyarakat Jimbaran' dan tiba-tiba mempersoalkan lahan PT Jimbaran Hijau.

Sebelumnya, ratusan warga yang tergabung dalam Kepet Adat Jimbaran mendatangi DPRD Bali pada Senin (3/2/2025) untuk menyampaikan aspirasi terkait dugaan perpanjangan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) secara tidak sah. Mereka menilai SHGB yang diberikan kepada sejumlah perusahaan swasta di Jimbaran bertentangan dengan ketentuan hukum.

Beberapa tokoh memastikan bahwa pernyataan Wayan Bulat dan pengacaranya, Nyoman Wirama saat itu adalah informasi yang keliru. Mereka menegaskan tidak ada lahan adat yang belum tersertifikasi, sementara Wayan Bulat bukan petani penggarap seperti yang diklaimnya.

Mantan Koordinator Baga Palemahan Desa Adat Jimbaran, Wayan Sukamta, menegaskan tidak ada sengketa lahan adat di Jimbaran. Semua tanah milik Desa Adat sudah tersertifikat.

"Selama saya menjabat sebagai prajuru desa adat Jimbaran, tidak ada tanah desa adat yang bersengketa atau sedang terlibat masalah hukum dengan pihak mana pun," ujar Sukamta, yang juga mantan Kepala Lingkungan (Kaling) Bhuana Gubug, Jimbaran, Selasa (18/2/2025).

Menurutnya, total tanah milik Desa Adat seluas sekitar 348.273 m² telah bersertifikat dalam 33 sertifikat. "Tidak ada lahan adat yang belum tersertifikat," tegasnya.

Ia pun mempertanyakan klaim yang beredar. "Tiba-tiba ada kelompok yang mengaku bahwa tanah ini adalah tanah adat. Tanah adat yang mana? Semua sudah bersertifikat," ujarnya.

Sukamta menilai ada upaya dari pihak tertentu untuk menyeret Desa Adat dalam konflik yang sebenarnya bersifat pribadi atau kelompok. "Jangan sampai ada masalah pribadi atau kelompok yang berusaha menyeret-nyeret Desa Adat untuk mencari simpati masyarakat," cetusnya.

Ia juga menekankan bahwa jika ada pengadaan lahan oleh investor di masa lalu, semua harus mengikuti aturan yang berlaku saat itu. "Terkait proses yang dilakukan investor, tentunya pihak pemerintah, dalam hal ini BPN, yang bisa menjelaskan apakah prosedur yang dilakukan sudah sesuai aturan atau tidak," imbuhnya.

Terkait Wayan Bulat, Sukamta meluruskan bahwa yang bersangkutan bukan penggarap, melainkan ayahnya yang dulu menjadi penggarap sebelum menjual hak garapnya ke pihak lain.

"Wayan Bulat baru kembali sekitar tahun 2005, mengusir anak mantan penggarap, lalu membangun rumah di lokasi tersebut. Kini, dia sedang menghadapi masalah hukum dengan pemilik lahan di Pengadilan Negeri Denpasar," tegasnya.

Hal serupa disampaikan Made Sudita, mantan Koordinator Baga Pawongan Desa Adat Jimbaran. Ia menegaskan tidak mengetahui adanya masalah tanah adat di Jimbaran.

"Saya mantan Koordinator Baga Pawongan, dan saya tidak tahu ada masalah ini. Jika memang ada permasalahan tanah milik Desa Adat, ini seharusnya dibahas dalam pertemuan resmi atau paruman desa," ungkapnya.

Ia juga mempertanyakan kehadiran Bendesa Adat dalam audiensi di DPRD Bali. "Apakah hadir sebagai individu atau mewakili lembaga desa adat? Jika mewakili, mestinya dibahas dulu di tingkat Desa Adat," katanya.

Menurutnya, sikap Bendesa Adat dalam audiensi tersebut terasa aneh. "Jika memang ada pihak yang sedang berperkara, seharusnya Bendesa bersikap bijak dan mengklarifikasi terlebih dahulu sebelum terlihat berpihak kepada salah satu pihak yang belum tentu benar," sarannya.

Mantan karyawan PT CTS, I Made Eben, juga turut memberikan kesaksian. Ia memastikan bahwa proses pembebasan lahan oleh investor sudah sesuai dengan mekanisme yang berlaku.

"Saya pernah menjadi bagian dari PT CTS yang membebaskan lahan di Jimbaran. Saat itu, semua proses dilakukan dengan koordinasi bersama desa dan warga yang saat itu menggarap tanah milik negara," ungkapnya.

Eben juga membantah klaim Wayan Bulat sebagai penggarap. "Wayan Bulat bukan penggarap, melainkan seorang pensiunan polisi yang kembali ke Jimbaran sekitar tahun 2005 dan mulai beraktivitas di pinggir sungai sebelum membangun rumah," jelasnya.

Ia mempertanyakan kelompok audiensi yang mengklaim sebagai mantan penggarap. "Penggarap yang mana? Di lokasi mana? Saya justru melihat bahwa mereka yang hadir dalam audiensi tidak semuanya warga Jimbaran atau mantan penggarap," katanya.

Ia juga menegaskan bahwa sebagian mantan penggarap sudah menerima ganti rugi. "Jadi perlu dipertanyakan kapasitas mereka dalam audiensi ini. Apa tujuan mereka sebenarnya?" pungkasnya.

Komentar